Sunday, December 4, 2016

HUT PURBALINGGA BUKAN 18 DESEMBER: SEBUAH OTOKRITIK AWAL

Pendopo Dipokusumo Purbalingga
Di Muat dalam Opini Koran Satelitpost Edisi 6 Desember 2016.
Awal tahun 2016, Kabupaten Banyumas merayakan Hari Jadinya yang berbeda. Selama 25 tahun, Kabupaten Banyumas merayakan HUT pada tanggal 6 April. Kini warga Banyumas merasakan moment yang berbeda, yaitu dengan perubahan perayaan HUT menjadi tanggal 22 Februari. Apresiasi yang tinggi untuk Prof. Dr. Sugeng Priyadi, guru akademik penulis, yang mencurahkan tenaga dan pikirannya hampir 25 tahun untuk “menggugat” HUT Banyumas. Hal ini membuat daerah-daerah lain juga melihat kesempatan yang sama untuk bertanya keapada sejarah daerahnya masing-masing? Apakah selama ini HUT yang dirayakan sudah sesuai dengan fakta sejarah?
Sebagai warga asli Purbalingga, pertanyaan diatas pun sempat tersirat dibenak, karena tidak menutup kemungkinan bahwa dengan ditemukannya dokumen-dokumen baru, maka akan menambah diskusi tentang Hari Lahirnya Purbalingga. Bukan hal yang mustahil, hari lahir yang selama ini dirayakan, hanya sebuah legitimasi politik tanpa melihat fakta sejarah. Hal ini menjadi disorientasi historiografi yang tidak sesuai dengan fakta sejarah.
Beberapa waktu lalu, penulis menemukan sebuah makalah berangka tahun 1988 dengan judul “Hari Jadi Kabupaten Purbalingga”. Panitia penyusun makalah ini juga diakui pemerintah Kabupaten Purbalingga dengan SK Bupati Kepala Daerah Tingkat II Purbalingga dengan Nomor: 433-175 Tanggal 1 Februari 1988. Artinya, tim ini memang dibentuk oleh Bupati sendiri untuk menelusuri hari lahir yang sesuai dengan fakta sejarah. Memang sangat berbeda dengan cerita legendaris Ki Arsantaka, hal ini bisa menjadi diskusi ilmiah lebih lanjut. Berikut garis besar isi makalah itu.

Raden Ronggo Yudonegoro: Bupati Pertama?    
Awalnya, Purbalingga merupakan sebuah “Kademangan” dari wilayah kekuasaan Kasunanan Surakarta. Kademangan ini dipimpin oleh Raden Demang Prawirodimedjo, dalam perkembangannya, daerah Kademangan ini dinaikan tingkatanya dengan status “Distrik”. Sehingga Raden Demang Prawirodimedjo diangkat sebagai kepala Distrik dengan gelar Raden Ronggo Yudonegoro. Raden Ronggo Yudonegoro merupakan anak dari Bekel Kiai Wirowidjojo dan cucu dari Bupati Temanggung, yaitu Wiro Digdo yang berpusaat di Surakarta.
      Sumber mengenai Raden Ronggo Yudonegoro dapat dilihat dari “Surat Residen Kedoe”, tertanggal 6 Januari 1829 Nomor 102 yang ditujukan kepada Luietenant Gouvereur Generaal (LGG) dan Surat Resolusi tanggal 4 Februari 1834 Nomor 1. Dalam surat itu, berisi tentang kondisi kerusuhan yang terjadi akibat Perang Diponegoro antara tahun 1825-1830. Pada waktu itu, Distrik Purbalingga menjadi bawahan Kabupaten Magelang. Seiring meluasnya kerusuhan di Distrik Purbalingga, dan ketidak mampuan Kabupaten Magelang menjangkau dan memadamkan kerusuhan (seperti perang di Mandiraja dan Bitting tahun 1826) maka ditunjuklah Raden Ronggo Yudonegoro menjadi kepala Distrik Purbalingga.
      Dengan pertimbangan itu, Pemerintah Hindia Belanda atas ijin Vorstelanden mengambil inisiatif mengangkat Raden Ronggo Yudonegoro menjadi seorang Regent atau Bupati di Purbalingga dengan wilayah bekas Distrik Purbalingga. Hal ini merujuk pada Surat tertanggal 10 Januari 1829 Nomor 709 dari Luitenant General-Luitentant Gouvereur Generaal (LG-LGG) De Kock yang ditujukan kepada De Minister Van Staat, Komissaris Generaal over Nederlansch Indie, yang berisi tentang pertimbangan-pertimbangan Raden Ronggo Yudonegoro, seorang Pejabat Tinggi Pribumi menjadi seorang Bupati atau Regent.
       Atas pertimbangan dari para Bupati dari Kedu tertanggal 6 Januari 1829 Nomor 102 dan pendapat LG-LGG pada tanggal 10 Januari 1829 Nomor 709, maka dengan resmi Raden Ronggo Yudonegoro diangkat menjadi Regent van Purbalingga (Bupati Purbalingga). Sedangkan pengangkatan tersebut, ditetapkan dalam Besluit Kommissaris General tertanggal 22 Januari 1829 Nomor 39 Atas Nama Raja. Secara garis  besar, keputusan tersebut berisi beberapa poin.
        Pertama, Raden Ronggo Yudonegoro, Kepala Distrik Purbalingga dinaikan pangkatnya menjadi Bupati (Regent) dengan gelar Raden Tumenggung Yudonegoro. Kedua, Distrik Purbalingga berubah status menjadi Kabupaten Purbalingga yang berdiri sendiri, semula masih dibawah Kabupaten Magelang. Ketiga, Bupati mendapatkan gaji f.400,00 (empatratus gulden) selama sebulan, kemudian akan ditetapkan setelah pembrontakan dihilangkan. Dan empat, Bupati diperbantukan oleh seorang Patih (Raden Ing Ngabei Tirto Atmodjo) dan Kliwon (Mas Merto Tudo), dan gaji beberapa pegawai lainnya, sesuai dengan yang ditetapkan untuk Kepala Bupati Purbalingga. Sejak surat keputusan Kommissaris General tanggal 22 Januari 1829 nomor 39, maka secara RESMI sebuah Kabupaten Purbalingga lahir secara yuridis.

Kenapa Harus tanggal 18 Desember?
      Setelah tahun 1830, Perang Jawa pimpinan Pangeran Diponegoro dapat dikatakan bisa ditaklukan. Setelah ditaklukan kembali, pemerintah Hindia Belanda mendapatkan wilayah kekuasaan tambahan yang sebelumnya dikuasai oleh Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Salah satu wilayah itu adalah Purbalingga. Hal ini ditegaskan dalam Besluit Gouvernuer General di Batavia tertanggal 18 Desember 1830 Nomor 1, mengenai “Pengambil alihan kekuasaan atas wilayah-wilayah Vorstenlanden/bekas wilayah Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta oleh Belanda”. Hal ini disebutkan dalam Buku Java Oorlog Jilid VI lampiran XXXII yang menyebutkan (beberapa point tidak disebutkan karena berkaitan dengan daerah lain):
     Point a, menetapkan bahwa tanah-tanah yang dilepaskan oleh Kerajaan Surakarata dan Yogyakarta terletak disebelah Barat dari wilayah Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta akan dijadikan 2 (dua) Karsidenan, yaitu: Karsidenan Bagelan dan Karsidenan Banjoemas. Point g, Karsidenan Banyumas akan dibagi kedalam 4 Kabupaten, yaitu: Banyumas; Ajibarang; Dayeuh Luhur dan Purbalingga.
        Jadi, penetapan HUT Purbalingga yang dirayakan dengan landasan Perda Nomor 15 Tahun 1996 mengacu pada pengambil alihan wilayah kekuasaan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta oleh pemerintah Hindia Belanda. Pertanyaanya, mengapa harus tanggal 18 Desember? Penulis pun tidak bisa memastikan ini. Namun pertanyaan lain yang justru timbul, kenapa Banyumas tidak menggunakan tanggal 18 Desember itu? Padahal tanggal tersebut justru merupakan tanggal terbentuknya Karsidenan Banyumas.
       Kalau secara yuridis, ketika pengangakatan Raden Ronggo Yudonegoro diangkat sebagai Bupati pertama Purbalingga tangggal 22 Januari 1829, maka selayaknya tanggal itulah yang seharusnya dijadikan hari lahir, bukan tanggal 18 Desember 1830 yang merupakan pembentukan Karsidenan Banyumas. Jadi dengan kata lain, HUT Purbalingga yang dirayakan setiap tanggal 18 Desember itu, sama saja merayakan kekalahan Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro dan merayakan penyerahan kekuasaan bekas wilayah Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta kepada Belanda. Mari kita merefleksikan diri dengan berfikir kritis.
       Sejarah harus memiliki senjata ke-kritis-an. Memang untuk menuliskan sejarah kritis, kita juga harus melihat sejarah tradisional. Kemampuan terbatas penulis yang belum mampu membongkar Babad yang berbicara tentang sejarah Purbalingga dari perspektif lokal. Karena menurut Prof. Taufik Abdullah, ketika sejarah kritis ingin ditulis, maka masalah pertama yang harus dihadapi adalah mencari “fakta” dibelakang historiografi tradisional yang menentukan hayat “kewajaran sejarah”, dan tradisi lisan, yang merupakan mirage of reality.
Pertanyaan yang harus dijawab terlebih dahulu sebelum berdiskusi secara ilmiah lebih lanjut adalah, kriteria apa yang menjadi tolak ukur Kabupaten Purbalingga untuk menjadikan sebuah tanggal menjadi tanggal “keramat” dan dijadikan Hari Jadi nya? Kalau Purbalingga ingin mencari hari jadi yang sesuai jiwa lokal nya, maka mencari arus histori versi lokal yang menjadi kemutlakan.
Versi lokal yang penulis maskud adalah versi dari babad yang berbicara tentang berdirinya Kabupaten Purbalingga. Dalam versi ini, Ki Arsantaka menjadi tokoh sentral dalam berdirinya Kabupaten Purbalingga. Menurut Tri Atmo, Ki Arsantaka merupakan putera dari Adipati Onje II dengan puteri dari Adipati Arenan. Ki Arsantaka setelah dewasa mengembara ke Timur dari rumahnya di Onje (Kecamatan Mrebet sekarang). Hingga tiba di Desa Masaran (sekarang Kecamatan Bawang, Banjarnegara). Disana Ki Arsantaka diangkat anak oleh Ki Rindik atau Ki Wanakusuma, menantu dari Ki Ageng Gendani dari Pdepokan Bangkongreng, sehingga nama Arsantaka diganti menjadi Arsakusuma.
Setelah itu, Ki Arsantaka menikah dengan Nyi Merden, puteri dari Ki Pranadipa (keturunan Adipati Wirasaba), dari pernikahannya ini, keturanannya akan menjabat Bupati Purbalingg, yaitu Raden Tumenggung Dipayuda III. Ki Arsantaka berjasa kepada saat perang Jenar, perang antara Mankubumi dengan Pakubuwono III. Jasa terbesar Ki Arsantaka karena berhasil menemukan jasad dari Nhabehi Dipayuda I, sehingga nanti anaknya, Ki Arsayuda diberikan gelar Raden Tumenggung Dipayuda III.
Awalnya perintahan berpusat di Karanglewas (sekarang Kecamatan Kutasari), setelah anaknya menjabat sebagai Ngabehi di Karanglewas, maka timbul ide dari Ki Arsantaka untuk memindahkan pemerintahannya ke arah Tenggara. Pertimbangan yang diperoleh dari Ki Arsantaka adalah karena letaknya yang dekat dengan Sungai Klawing, tujuanya untuk memudahkan perdagangan dan kesuburan tanah yang bisa dijadikan untuk pertanian. Pemindahan ini, bertepatan dengan tangga 23 Juli 1759 Masehi atau beretepatan dengan hari Senin Manis 26 Selo (Apit) tahun Jawa EHE 1684 Windu Kuntoro. Versi ini menunjukan bahwa, tanggal 23 Juli selayaknya dijadikan sebagai Hari Lahir Kabupaten Purbalingga. Namun, data ini harus ditelisik lagi. Semoga ada kesempatan penulis, untuk lebih mendalami data ini.[]