Tuesday, September 22, 2015

HISTORIA VITAE MAGISTRA: Menanamkan Jiwa Nasionalisme Kepada Pilar Bangsa


“Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya,
Beri aku 10 Pemuda yang membara cinta pada Tanah Airnya,
niscaya akan aku guncangkan dunia.”
-Ir. Soekarno-

Ketika kita membaca sebuah kutipan diatas, mungkin yang akan muncul dalam benak kita adalah itu hanyalah sebuah kalimat yang sederhana, tetapi perlu di ketahui bahwa di dalam kalimat sederhana tersebut terkandung makna yang sangat dalam bagi kaum muda. Bagaimana kalimat tersebut membuktikan bahwa pemuda merupakan aset yang sangat berharga bagi suatu bangsa. Kalimat yang diucapkan oleh Presiden pertama Replubik Indonesia Ir. Soekarno tersebut menggambarkan peranan pemuda sebagai pioner masa depan suatu bangsa, supaya tetap bisa berdiri dengan tegak. Oleh karena itu, kehidupan dan kesuksesan suatu bangsa bergantung pada kuat atau tidaknya pemuda yang akan menjadi pilar serta tulang punggung negeri ini. Kita bisa bayangkan bagaimana ketika sebuah rumah pilarnya roboh atau rusak maka rumah itu pun dapat di pastikan akan suatu saat akan hancur, begitu juga suatu bangsa dan negara apabila pemudanya yang menjadi pilar rusak, maka dapat di pastikan bahwa bangsa tersebut akan segera hancur. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apakah para pilar-pilar bangsa Indonesia ini sudah kokoh?
Seperti yang kita ketahui rasa nasionalisme merupakan salah satu dasar yang harus dipertahankan untuk menjaga suatu bangsa tetap berdiri kokoh. Selain itu, dengan semangat nasionalisme yang kuat maka akan menjaga eksistensi suatu negara agar selalu terhindar dari semua ancaman, baik ancaman yang datang dari dalam maupun dari luar. Apakah pemuda kita sudah memiliki dasar nasionalisme yang kuat? Karena nasionalisme merupakan pondasi utama berdirinya bangsa ini.

R         Realita Kaum Muda Kita
Pemuda adalah sekelompok remaja menuju dewasa yang “katanya” memiliki darah muda. Katanya juga, darah muda yang ada dalam generasi muda merupakan cikal bakal lahirnya pemimpin dan juga penyelamat suatu bangsa. Namun, semua itu sekarang hanya menjadi sebuah harapan bukan sebuah kenyataan yang ada dalam generasi muda kita saat ini. Hal ini bisa di lihat dari perbedaan karakter dua generasi bangsa ini, pemuda zaman dahulu mau berjuang dengan mengorbankan segalanya, selain itu tidak sedikit pula para pemuda yang jadi korban perjuangan, tetapi mereka terus berjuang dan bersatu menuntut perubahan. Tapi lihatlah sekarang, banyak sekali mahasiswa yang melakukan demonstrasi, tapi apakah membawa sebuah perubahan? Terkadang justru hanya membuat kerusakan dan membuat kemelut saja. Sekarang justru yang muncul bukalah prestasi yang dapat dibanggakan, tapi hanya berbagai hal menyimpang, seperti radikalisme, seks bebas, dan narkoba. Hal yang lebih ironis lagi adalah saat ini pemuda banyak yang menjadi mangsa “empuk” bagi budaya-budaya asing yang sampai saat ini terus “menghantam” Indonesia.
Sekarang justru muncul sebuah tema baru yang digunakan untuk menggantikan perjuangan zaman dahulu yaitu pacaran, yang justru hanya akan menghambat gerak para pemuda. Karena, pelajar yang seharusnya fokus untuk belajar justru banyak menyalahgunakan kesempatan untuk bersenang-bersenang, coba kita bandingkan bagaimana pemuda zaman dulu menggunakan fasilitas apapun untuk belajar, sangat kontras dengan para pelajar sekarang yang hidup dalam fasilitas serba ada dan serba modern justru hanya menjadikan para pelajar terlena dengan kecanggihan teknologi saat ini, yang kebanyakan teknologi tersebut hanya disalahgunakan. Salah satu contoh korban teknologi adalah para pemuda yang memiliki gaya hidup “alay”, yang ada dalam pikirannya ialah hanya bersenang-senang tanpa memikirkan masa depannya sendiri, kalau sudah begini bagaimana para pilar-pilar bangsa ini akan memikirkan masa depan bangsanya? Masa depannya sendiri saja tidak dipikirkan.
Data yang lebih memperihatinkan fakta tersebut adalah hasil survey Komisi Nasional Perlindungan Anak pada tahun 2012 di 17 kota besar di Indonesia dengan jumlah responden 4700 remaja siswi pada jenjang pendidikan SMP hingga SMA. Survey ini membuat masyarakat semakin tercengang mengetahui hasilnya, menurut survey tersebut bahwa 62,7 % remaja SMP/SMA mengaku sudah tidak perawan, yang lebih mencengangkan adalah 21,2 % dari siswi-siswi tersebut mengakui telah menggugurkan kandungannya secara ilegal. Kondisi seperti ini pastinya membuat kita semakin perihatin dengan generasi penerus bangsa ini. Tetapi, meskipun demikian kita tidak boleh pesimis, kita harus tetap optimis dan percaya bahwa masih banyak kaum muda yang baik dan berpotensi untuk menjadi calon pemimpin bangsa.

     Historia Vitae Magistra: Belajar dari “Kaca Spion” Pemuda
Generasi muda merupakan salah satu aset berharga yang dimiliki oleh suatu bangsa untuk menatap masa depan yang lebih baik. Begitu juga generasi muda bangsa Indonesia yang menjadi aset berharga bagi bangsa ini. Oleh karenanya, bangsa ini harus pandai mempersiapkan generasi muda saat ini untuk menjadi pemimpin-pemimpin dimasa yang akan datang.
Perjalanan bangsa Indonesia tidak bisa dilepaskan dari perjuangan yang bergelora para kaum muda. Terkadang pemuda memiliki idealisme yang dipegang kuat ketika mereka menjadi pelajar atau mahasiswa, dengan usia yang terbilang muda menjadikan nilai intelektualisme sebagai tonggak pengabdian tanpa pamrih dan tanpa embel-embel apapun, demi berjuang membela bangsa dan negara. Meskipun kita ketahui mereka semua berasal dari latar belakang yang berbeda seperti, perbedaan suku, agama, ras, golongan, bahkan ideologi yang berbeda, semua mereka kesampingkan dan bersatu untuk mewujudkan cita-cita mulia, yaitu kemerdekaan Indonesia.
Perjungan para pemuda sudah tercatat sebagai tinta emas perjalanan bangsa Indonesia. Perjuangan para pemuda dapat di kelompokan kedalam beberapa tahap, hampir disetiap tahap tersebut ada sosok pemuda sebagai lokomotif dan garda terdepan perjuangan bangsa Indonesia. Salah satunya adalah tahap untuk meneguhkan identitas diri pada tahun 1925-1944. Berikut ini penulis akan menjelaskan secara singkat peranan pemuda dalam perjalanan bangsa Indonesia, terutama dalam tahap meneguhkan identitas diri.
Tahap meneguhkan identitas diri yang terjadi dalam rentan tahun 1925-1944, tahap ini lebih memantapkan untuk mencapai sebuah negara yang berdaulat. Para pemuda bertekad untuk melepaskan diri dari pemerintahan kolonial dan memiliki pemerintahan yang berdaulat sendiri. Perjuangan melalui organisasi tidak hanya terjadi di dalam negeri saja, perjuangan untuk meraih kemerdekaan juga dilakukan di luar negeri. Dalam perjalanannya, sejarah telah membuktikan bahwa perhimpunan Indonesia (Indische Vereeninging) di Belanda yang didirikan oleh para pelajar beserta Mahasiswa pada tahun 1908, kemudian dijadikan sebagai wadah bagi perjuangan para pemuda. Pada saat usia 24 tahun, Mohammad Hatta diangkat menjadi ketua  dan sekaligus sebagai ketua terlama antara 1926-1930, dalam rentan waktu tersebut, justru pertama kali diikrarkan apa yang sekarang kita kenal sebagai Manifesto Politik, mencakup persatuan (unity), kemerdekaan (liberty), dan persamaan (egality). Selain itu, mereka berjuang di negeri orang tersebut dengan cara menggunakan media untuk menuangkan “coretan-coretan pena” di majalah Indonesia merdeka, yang didalamnya berisi opini-opini perjuangan dalam rangka mencapai sebuah kemerdekaan, bebas serta mandiri tanpa bergantung pada campur tangan negara lain.
Perjuangan melalui organisasi pergerakan akhirnya mencapai puncaknya yakni ketika diadakan kongres pemuda II atau yang kita kenal dengan sumpah pemuda pada 28 Oktober 1928 yang diprakarsai oleh Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia. Banyak sekali tokoh-tokoh yang ikut berperan  sebagai penggerak untuk mengadakan kongres tersebut, salah satunya adalah Moh. Yamin yang memiliki jabatan sebagai sekretaris dan salah satu “aktor” yang berperan serta merumuskan bunyi ikrar atau keputusan yang dihasilkan pada saat kongres tersebut, yang berbunyi bertumpah darah, berbangsa dan berbahasa satu, Indonesia. Ketika Mohammad Yamin ikut serta dalam kongres pemuda II tersebut usianya baru 25 tahun, tetapi sudah banyak buah pikirannya dalam bidang sejarah yang sampai saat ini masih menjadi rujukan, ada juga yang menyebut karya-karyanya sebagai “pencipta imaji Indonesia”.
Pada rentan waktu 1942-1945, ketika itu jepang mengambil alih wilayah kekuasaan Belanda. Pada saat Jepang pertama kali menginjakkan kakinya di Indonesia, masyarakat Indonesia menganggap Jepang sebagai “Saudara Tua”, Jepang memberikan banyak janji-janji untuk mencapai kemerdekaan di kemudian hari dengan syarat Indonesia mau memberikan bantuan kepada Jepang dalam Perang Dunia II. Tetapi, tidak banyak organisasi yang mampu “hidup” di masa kolonialisme Jepang, hal ini dikarenakan semua organisasi dan partai yang ada sebelumnya dibubarkan. Sementara itu, Jepang mendirikan pasukan-pasukan yang sebenarnya dimanfaatkan untuk mem back up tentara-tentara Jepang. Organisasi bentukan Jepang antara lain, Heiho (sebagai pembantu prajurit jepang), Seinendan (barisan pemuda), Keibondan (sebagai pembantu polisi), Peta (Pembela Tanah Air) dan masih banyak lainnya, dari organisasi-organisasi tersebut, rata-rata anggotanya berumur antara 18-30 tahun. Namun, dari pasukan-pasukan inilah yang pada nantinya akan menjadi cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI). Banyak tokoh-tokoh militer yang akan menjadi penentu pemimpin bangsa Indonesia, seperti Soedirma, A.H Nasution, Soeharto dan masih banyak lagi.
Uraian singkat tersebut tampaknya sedikit menggambarkan bahwa pemuda memang penentu masa depan suatu bangsa. Bagaimana pemuda zaman dahulu berjuang terus untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Mereka menempatkan kepentingan bangsanya di atas kepentingannya sendiri. “Kaca Spion” pemuda telah mengajarkan pada kita bahwa generasi muda mampu membawa sebuah perubahan yang besar pada keberlangsungan dan kejayaan bangsanya.
Orang yang bijak adalah orang yang mampu belajar dari pengalaman, sedangkan bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah bangsanya. Dapat diibaratkan sebuah kaca spion pada kendaraan bermotor, sebuah benda yang bisa dikatakan kecil tapi memiliki manfaat yang besar. Karena ketika kendaraan bermotor tidak ada kaca spionnya pasti akan menyebabkan “kekacauan” bahkan bisa terjadi kecelakaan. Begitu juga sebaliknya, ketika berkendara tidak harus melihat ke kaca spion terus, karena itu juga berbahaya, tetapi semua itu harus seiring-seirama dan saling melengkapi. Pandangan kita menatap kedepan, tetapi kita harus melihat ke belakang sejenak supaya (aman).  Sama halnya dengan perjalanan hidup berbangsa dan bernegara, kita harus berjalan untuk menatap optomisme masa depan yang gemilang, dengan selalu belajar dari sejarah bangsa kita ini. Seperti yang dikatakan oleh orang Yunani bahwa sejarah merupakan guru kehidupan (Historia Vitae Magistra), dan yang terpenting adalah bukan hanya “bagaimana belajar sejarah” melainkan “bagaimana belajar dari sejarah itu sendiri”. Kita belajar sejarah untuk menjalani hari ini dan juga sekaligus untuk mempersiapkan masa depan yang lebih gemilang lagi. Oleh karena itu, di perlukan sebuah strategi yang keberlangsungannya berjangka panjang dan pastinya optimal. Menyongsong kembali melalui penanaman nilai-nilai nasionalisme yang sudah mulai “luntur”  dan juga merupakan solusi dari keterpurukan bangsa ini melalui pendidikan Sejarah bangsa.  Oleh karena itu, seperti yang disamapaikan oleh Presiden Soekarno dengan Jas Merahnya, “Jangan sekali-kali melupakan sejarah”, dimana para pemuda harus belajar dari sejarah. Sehingga nantinya pemuda bisa membawa diri dan pastinya bisa menentukan arah perjalanan bangsa Indonesia di masa mendatang.

       Pendidikan Sebagai Vektor Perubahan    
Apabila suatu bangsa mengalami keterpurukan, maka tidak ada pihak yang paling bertanggung jawab kecuali perguruan tinggi yang telah mendidik para pemikir dan pemimpin bangsanya.
Pendidikan adalah suatu hal yang sangat penting dalam tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara ini, semua itu di dasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Pendidikan merupakan salah satu bentuk usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar serta proses pembelajaran sehingga membuat peserta didik secara aktif akan mengembangkan potensi yang ada pada dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan masyarakat, bangsa dan negara.
     Pencapaian tujuan bangsa Indonesia yang dituangkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah tugas serta kewajiban seluruh warga negara Republik Indonesia. Dengan tanggung jawab dan keikutsertaan warga negara dalam mencapai tujuan tersebut merupakan wujud nasionalisme dalam bentuk kesadaran hidup berbangsa dan bernegara, cinta kepada tanah air, memiliki keyakinan terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai ideologi, falsafah sekaligus dasar negara, kerelaan untuk berkorban bagi bangsa dan negara, dan merupakan bentuk kemampuan awal untuk melakukan bela negara.
Indonesia adalah sebuah negara yang majemuk dan beranekaragam, entah itu kebudayaannya ataupun masyarakatnya. Keanekaragaman ini merupakan suatu pedoman dan paham yang sangat cocok dengan karakter kemajemukan itu sendiri. Sementara itu, paham yang dirasakan sangat cocok dengan kemajemukan ini adalah konsep kebangsaan yakni nasionalisme.
     Nili-nilai nasionalisme terkadang dikaitkan dengan dunia pendidikan, karena untuk memaknai penanaman sebuah nilai-nilai tersebut pasti diperlukan suatu upaya dari masyarakat Indonesia sendiri untuk berperilaku yang mengarah pada nilai-nilai Pancasila.
     Berdasarkan dari cita-cita luhur yang dimiliki oleh Indonesia, maka untuk mengisi dan  meneruskan kemerdekaan, sangat diperlukan generasi yang memiliki jiwa nasionalisme tinggi dan kuat. Oleh karena itu, untuk mewujudkannya tidaklah harus tampak dimata orang lain melainkan bisa dimulai dari hal-hal yang paling sederhana sampai pada hal-hal yang lebih kompleks. Contoh dari hal yang sederhana dalam rangka penerapan nasionalisme dalam dunia pendidikan antara lain yaitu keikutsertaan para peserta didik dalam mengikuti kegiatan-kegiatan seperti, upacara bendera, menyanyikan lagu Indonesia Raya setiap pagi, melalui kegiatan ekstrakurikuler yang bertujuan menguatkan rasa cinta tanah air, dan masih banyak lagi cara penerapan yang dapat dilakukan oleh instansi pendidikan.
     Oleh karena itu, pemerintah harus memanfaatkan jalur pendidikan di sekolah-sekolah yang memang ampuh sebagai vektor perubahan bangsa. Hal ini karena pemuda adalah agen dari perubahan bangsa. Begitu juga sekolah yang merupakan salah satu agen pembentuk karakter pemuda, calon pemimpin suatu negara di masa depan dan pemegang “kunci” keberhasilan negeri ini. Pemuda harus memiliki karakter jiwa nasionalisme yang kuat sehingga tujuan dan cita-cita negeri ini bisa tercapai. Pendidikan di sekolahlah sebagai salah satu strategi untuk menciptakan generasi muda yang memiliki jiwa nasionalisme yang kuat.
     Oleh karena itu penulis mengajak pada para pemuda Indonesia, di tengah-tengah zaman globalisasi ini serta gejolak penurunan harga diri dari para pemimpin-pemimpin bangsa yang sudah terjangkit “virus” korupsi, sehingga harapan untuk perubahan dan perbaikan masa depan bangsa tetap terjaga dan masih ada. Para pemudalah sebagai tokoh utama yang akan menjadi pemimpin bangsa ini, karena jika pemuda tidak mau mengambil perannya dalam kepimpinan bangsa, maka dapat dipastikan beberapa puluh, beberapa ratus tahun kedepan, bangsa Indonesia akan hancur! Tetapi, semoga tidak akan terjadi hal seperti itu, kita masih bisa mencontoh para pendiri bangsa ini, karena pemuda pemimpin perubahan dan menciptakan peradaban. Sebagai generasi muda yang memiliki kemampuan dan juga kemauan kuat untuk memberikan solusi dan tindakan nyata yang progres, sekarang saatnya para generasi muda membuktikan komitmennya kepada negeri ini dengan jalan pengabdian dan bukti karya nyata. Sudah saatnya bangkit para calon pemimpin bangsa ini dan membawa Indonesia meraih kejayaannya.


50 Besar Essay terbaik tingkat Nasional dari UGM

Daftar Pustaka
Herisdiana,. (2014, 29, Oktober). “Pemuda Masa Kini”.(Kompasiana). Tersedia: http: //www.kompasiana.com/herisdiana/pemuda-masa-kini, diakses 27 Agustus 2015
Undang-Undang No. 20 Tahun Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Lembaga Informasi Nasional
Saefudin, A. (2013). “Pemuda: Penentu Masa Depan Bangsa”. Essay 10 finalis terbaik di UNES