Tuesday, October 28, 2014

Asal Nama Desa Majatengah

Balai Desa Majatengah

arifsae.com - Desa Majatengah berada di Kecamatan Kemangkon, Kabupaten Purbalingga dan berada di Provinsi Jawa Tengah. Desa Majatengah bisa dibilang mempunyai wilayah yang luas karena terbagi menjadi 4 Dusun. Dusun ini mempunyai nama-nama tersendiri yang biasa dikenali masyarakat sekitarnya. Dusun satu yang terkenal dengan sebutan Sreng-seng, Dusun dua yang terkenal dengan sebutan Majatengah, dan Dusun tiga yang terkenal dengan sebutan Majatengah Tengah, serta Dusun empat yang terkenal dengan sebutan Buara. Dari ke empat Dusun tersebut masing-masing dipimpin oleh seorang kepala Dusun atau yang sering disebut Kadus.

Letak geografis Desa Majatengah yaitu di sebelah Selatan yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Banjarnegara yang dibatasi oleh Sungai Serayu. Di sebelah Timur Desa Majatengah yang berbatasan langsung dengan Desa Kedunglegok, dan di sebelah Barat yang berbatasan langsung dengan Desa Pelumutan dan Desa Senon, serta di sebelah Utara yang berbatasan langsung dengan area Persawahan dan Desa Karangkemiri. Letak geografis berpengaruh pada masyarakat Desa Majatengah. Selain itu Desa Majatengah mempunyai  potensi Sumber Daya Alam yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hasil potensi Sumber Daya Alam di Desa Majatengah misalnya Pohon Kelapa yang dimanfaatkan niranya untuk membuat Gula Jawa, yang kemudian dijual untuk menambah penghasilan. Selain memanfaatkan Sumber Daya Alam yang tersedia, Masyarakat di Desa Majatengah juga memanfaatkan lahan sebagai daerah pertanian, misalnya untuk menanam Padi, Jagung, Kacang Panjang dan, Eceng Gondok. Selain dimanfaatkan sebagai lahan pertanian, lahan di Desa Majatengah juga digunakan untuk lahan perkebunan misalnya perkebunan Kelapa dan tanaman Papaya California yang kemudian hasil perkebunannya di jual.

Untuk meningkatkan rasa social, masyarakat Desa Majatengah membangun tempat khusus atau balai khusus untuk lahan pertanaman sehingga masyarakat dapat bersosialisasi di tempat tersebut. Tempat dikembangkan oleh Ibu-ibu Petani dan Kepala Desa. Sehingga dengan itu masyarakat mengetahui tentang bagaimana cara bertani yang baik dan benar sehingga mampu untuk mengelolanya sendiri. Selain itu di Desa Majatengah terdapat PAMSIMAS atau pasokan saluran air yang biasa digunakan sebagai alternative jika musim kemarau tiba sehingga tidak kesulitan untuk memperoleh air.

            Mengenai asal-usul nama Desa Majatengah Saya melakukan wawancara langsung dengan Mbah Sunarto. Dan Menurut sumber dari mbah Sunarto asal mula nama Majatengah karena terdapat pohon “Maja” yang terletak di tengah-tengah sungai Desa, sehingga diberi nama Desa Majatengah.

Selain itu saya juga mencari referensi di internet, dan menurut sumber asal mula nama Desa Majatengah yang Konon pada zaman dahulu Desa Majatengah belum merupakan suatu pedesaan atau pemukiman yang banyak penduduknya, masih banyak pepohonan bias dikatakan hutan Rimba, dikisahkan ada seorang pengembara yang sampai di wilayah tersebut dalam keadaan lelah, lapar dan dahaga karena beberapa hari belum ketemu dengan sesuatu yang bias dimakan. Pengembara itu istirahat bersandar di sebuah pohon yang rindang, matanya menatap keatas melihat pohon itu berbuah, karena terdorong rasa lapar yang luar biasa, tanpa pikir panjang pengembara itu memanjat pohon dan memetik buahnya lalu memakannya, ternyata dia baru sadar buah yang dimakannya rasanya pahit setelah memakan setengahnya dan baru menyadari bahwa pohon itu adalah Pohon Maja yang buahnya memang rasanya pahit. Lalu pengembara itu berucap tempat ini dinamakan MAJATENGAH, karena beristirahat di bawah Pohon Maja yang buahnya sudah dimakan setengahnya. Lalu sampai sekarang tempat itu menjadi Desa yang ramai dan padat penduduknya dengan nama Majatengah. Demikianlah asal usul nama Desa Majatengah.

Sumber Referensi:
https://dmajatengah.wordpress.com/profil/sejarah-desa-mahatengah/., diksaes tanggal 20 Oktober 2016.
Wawancara dengan Mbah Sunarto pada tanggal 25 Oktober 2016.

Sunday, October 12, 2014

Asal Usul Desa Nangkasawit

Kantor Desa Nagka Sawit

Nangkasawit adalah salah satu desa yang terletak di Kecamatan Kejobong, Kabupaten Purbalingga. Batas-batas Desa Nangkasawit adalah sebelah Barat dan Utara Desa Pasunggingan (Kecamatan Pengadegan), sebelah timur Desa Martelu (Kecamatan Kejobong) dan sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Nangkasawit Gunung Kidul (Kecamatan Kejobong).

Cerita sejarah bermula pada abad ke-16, setelah hancurnya Kerajaan Majapahit, kemudian berdiri sebuah kerajaan yang bernama Mataram. Seiring masa kekuasaan Kerajaan Mataram, Raja Mataram memerintahkan para Musyafir untuk melanglang buana (melakukan perjalan) diseluruh pelososk Jawa dalam rangka menyebar luaskan agama Islam. Beberapa nama Musyafir yang ikut menyebarkan agama Islam adalah Jaka Mulya dan Emban Kepadangan beserta Istriya. Dalam perjalanannya sampai disuatu kawasan lahan yang masih Luwung (Indonesia: Lahan yang masih kosong), belum ada penghuni dan masih berupa kawasan hutan belantara. Sampai sekarang kawasan tersebut masih ada dengan nama Dukuh Luwung dan kondisinya masih tetap sepi seperti dahulu.

Selanjutnnya Jaka Mulya, Emban Kepadangan sampai di suatu tempat di tengah hutan dan mereka beristirahat sambil berfikir, kemudian timbul inspirasi bahwa tempat yang disinggahi sangat bagus untuk dihuni dan dijadikan sebuah Desa, sampai sekarang lokasi tersebut oleh warga disebut dukuh NDESA yang sekarang menjadi pusat pemerintahan desa.

Setelah merasa cukup beristirahat, keesokan harinya Jaka Mulya, Emban Kepadangan berjalan menyusuri seluruh kawasan hutan hingga akhirnya sampai disuatu lokasi tepi sungai, disinilah Jaka Mulya dan Emban Kepadangan merasa telah menemukan tempat yang strategis untuk membangun Padepokan (tempat untuk melaksanakan kegiatan Da’wah). 

Akhirnya mereka membangun sebuah Padepokan sebagai tempat Da’wah dalam rangka menyebaran Agama Islam. Di Padepokan inilah istri Jaka Mulya dan Emban Kepandangan tutup usia dan dimakamkan disekitar lokasi Padepokan, makam keduanya kemudian disebut “PESAREHAN DEPOK”. Makam tersebut hingga sekarang masih ada dan terawat dengan baik oleh penduduk sekitar.

Setelah keinginan Jaka Mulya, Emban Kepadangan beserta istri membangun Padepokan terwujud, keberadaan tempat padepokan tersebuat mulai terdengar oleh orang orang dari luar kawasan hutan ini, sehingga para warga berdatangan untuk membuktikan kebenaranya bahwa ditengah hutan telah berdiri sebuah Padepokan yang dibangun oleh sorang pendatang baru/Musyafir. Seiring berjalannya waktu atau hari demi hari makin banyak pengunjung yang berdatangan dari luar daerah, saat itulah Jaka Mulya, Emban Kepadangan mulai melaksanakan kegiatan Da’wah tentang ajaran Agama Islam, ternyata para warga yang datang dari luar merasa betah untuk tetap tinggal di kawasan ini. Warga yang tadi sudah betah menempati padepokan itu akhirnya mereka menjadi santri selanjutnya Jaka Mulya, Emban Kepadangn dan santri mulai membenahi kawasan ini untuk dijadikan tempat tinggal permanen dan bercita cita membangun sebuah Desa. 

Hari demi hari mereka lewati, mereka membutuhkan makanan, sehingga guna memenuhi kebutuhan bahan makanan, para Santri Padepokan mencari bahan makanan ke Wana (Hutan) sebelah timur, hingga berhasil menemukan satu satunya pohon yang buahnya berbau harum dan belum diketahui namanya, kemudian warga beramai-ramai saling berebut untuk mendapatkan buah tesebut, sehingga menimbulkan pertengkaran, sampai sekarang kawasan ini disebut warga dengan sebutan DUKUH WANARAME, kata tersebut berasal dari peristiwa dimana para warga mencari bahan makanan dihutan secara beramai ramai dan saling berebut untuk mendapat buah yang telah ditemukan di Wana (hutan). Hal tersebut menyebabkan pertengkaran, satu diantara mereka yang bertengkar kemudian ada yang melapor kepada Jaka Mulya dan pada saat itu juga Jaka Mulya langsung mendatangi mereka yang sedang bertengkar kemdian mereka diajak mulih (Pulang) ke suatu tempat di Gunung Kidul (bukit selatan) untuk di damaikan, sehingga sekarang kawasan ini disebut DUKUH GUNUNG KIDUL.

Dilokasi perdamaian warga, kemudian Jaka Mulya beserta para santri membangun Pesanggrahan (Tempat tinggal dan tempat untuk melaksanakan segala kegiatan), sampai dengan akhir hidupnya Jaka Mulya tetap tinggal di Pesanggrahan yang telah dibangunnya, dan dimakamkan di area lokasi Pesanggrahan. Makam Jaka Mulya dan beberapa santri kepercayaan sampai sekarang masih ada dan dikenal oleh masyarakat luas dengan sebutan PESAREHAN KEMULIYAN, kata yang berasal dari peristiwa diajak mulih atau bali atau pulang mereka yang bertengkar berebut buah sebagaimana diceriterakan diatas, karena berasal dari Nama Jaka Mulya dan berkat keberhasilannya mendamaikan warga untuk mencapai Kemuliyaan, kedamaian, hidup rukun, saling hormat menghormati satu sama lain.

Pesarehan Kemuliyan sampai sekarang masih ada dan terawat dengan baik serta dikeramatkan oleh warga setempat dan banyak dikunjungi para peziarah dari luar daerah yang diyakini mereka dapat membawa barokah atas Ridho Alloh SWT. Setelah tercapai perdamaian, warga setempat dapat hidup rukun saling bahu membahu, sesuai inspirasi dan cita-cita menjadikan suatu Desa dikawasan yang telah dihuni selama bertahun – tahun, semua warga sepakat untuk membangun desa, tetapi mereka masih bingung mengenai nama desa ini, kemudian timbul gagasan setelah mengingat peristiwa yang telah dialami yaitu peristiwa awal mulanya dapat menemukan (Minangka Lantaran Nemu) menemukan bahan makanan, yaitu menemukan buah yang hanya ada satu pohon (sa' wit atau se' wit) yang ditemukan di wana (hutan), sehingga Desa ini diberi nama“DESA NANGKASAWIT”, yang berasal dari rangkaian kata minangka dan sawit”. Demikianlah cerita singkat tentang Sejarah dan Asal Usul Desa Nangkasawit, semoga bermanfaat.

Sumber Referensi: 
Nangkasawit.desa.id yang diakses pada tanggal 14 November 2016.

Friday, October 10, 2014

PKI di Era Reformasi

Sebagian kita mungkin masih ingat dengan peristiwa berdarah tanggal 30 September 1965. Pada saat itu, Partai Komunis Indonesia dengan menggunakan kekuatan Angkatan Darat yang berasal dari pasukan cakrabirawa melakukan tindakan penculikan dan pembunuhan terhadap tujuh orang perwira angkatan darat. Aksi ini adalah puncak perseteruan antara PKI dan angkatan darat pada zaman orde lama.

Setelah hampir lima puluh tahun berlalu, trauma yang dihasilkan oleh gerakan tiga puluh september masih bisa dirasakan sampai sekarang. Partai komunis indonesia masih menjadi momok di negeri ini setelah partai berlogo palu arit tersebut dinyatakan terlarang melalui TAP MPRS XXV Tahun 1966. Sayangnya hukuman ternyata tidak hanya ditanggung oleh anggota dan simpatisan PKI saja. Anak cucu merekapun harus ikut menanggung dosa turunan yang tak pernah berakhir. 

Pasca keberhasilan Angkatan Darat dibawah pimpinan Mayor Jendral Soeharto dalam menumpas pelaku Gerakan 30 September menyisakan masalah yang sangat besar dikemudian hari. PKI yang divonis sebagai pelaku utama Gerakan 30 September mendapat status sebagai musuh bersama dinegara ini. Status inilah yang kemudian membuat anggota pki dan simpatisannya menjadi sasaran amuk massa hampir di seluruh indonesia terutama di pulau jawa dan bali. Pengejaran dan pembunuhan terhadap anggota PKI tidak hanya dilakukan oleh tentara. Sebagian malah dilakukan oleh kelompok kelompok yang mempunyai kepentingan pribadi dan dendam masa lalu. Bahkan ada ungkapan pada masa itu, “jika kamu punya musuh, tuduh saja dia PKI, maka dia boleh untuk dibunuh”.

Sampai sekarang tidak ada data yang valid untuk mengetahui jumlah korban yang dibantai pada tahun 1965. Ada banyak versi tentang jumlah korban, mulai dari lima ratus ribu sampai tiga juta orang tewas dalam pembantaian ini. Sebuah fakta yang sangat mencengangkan apabila kita berkaca pada genosida yang dilakukan oleh pol pot di Kamboja. Jika pol pot melakukannya pembantaian terhadap dua juta rakyat Kamboja dalam beberapa tahun, di indonesia cukup dilakukan hanya dalam hitungan bulan.

Pembantaian hanyalah awal dari penderitaan yang diterima oleh anggota dan simpatisan PKI. Mereka yang tidak dibunuh harus melanjutkan hidupnya di dalam penjara. Sebuah kenyataan yang sangat pahit, karena sebagian dari mereka menerimanya tanpa menjalani proses pengadilan. Penyiksaan yang tidak berperi kemanusian harus mereka terima sebagai konsekuensi pilihan politik. Para tahanan politik ini dipaksa untuk mengakui perbuatan yang tidak pernah mereka lakukan. Tahanan perempuan dipenjara wanita plantungan bahkan harus menerima penyiksaan yang sangat pedih. Malam harinya mereka diperkosa, siangnya mereka diceramahi tentang pancasila oleh orang yang melakukan pemerkosaan.

Keterlibatan tentara dalam pembunuhan massal pasca gerakan 30 september mengindikasikan adanya upaya sistematis untuk membersihkan anggota PKI dan simpatisannya yang waktu itu dianggap sebagai musuh negara. Kenyataan ini menimbulkan adanya anggapan apabila pembunuhan anggota PKI selama tahun 65 dan 66 dianggap sebagai pelanggaran HAM yang berat. 

Kebencian pemerintah orde baru kepada PKI seakan tidak berujung. Pada tahun 1983, rezim Soeharto membuat sebuah film untuk menanamkan dokrin kepada seluruh rakyat indonesia. Tidak hanya memboroskan dana yang besar, film ini juga dibuat tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Bahkan sebagian adegan digambarkan secara berlebihan. Film ini sukses mendoktrin otak rakyat indonesia. Pemutaran film setiap tanggal 30 september menjadikan PKI dan ajaran komunis sebagai sebuah hal yang dianggap tabu dan berbahaya.

Persoalan ternyata bukan hanya sebatas doktrinasi yang dilakukan oleh pemerintah orde baru. Pemutaran film yang dilakukan setiap tahun tersebut ternyata melahirkan trauma tersendiri bagi perempuan yang menontonnya. Film Gerakan 30 September ini juga dianggap mendiskreditkan kaum hawa. Terutama perempuan yang aktif diwilayah publik. Gambaran perempuan melakukan tindakan yang tidak berprikemanusiaan menari nari dalam keadaan semi telanjang dan melakukan penyiksaan seksual ditampilkan menjadi bagian yang utuh dari narasi sebuah kekuasaan untuk meletakkan siapa yang bersalah pada malam itu. Bahkan kelompok perempuannya sangat spesifik yaitu Gerakan Wanita Indonesia atau Gerwani. Hal inilah yang menyebabkan dikemudian hari gerakan perempuan menjadi momok. Perempuan perempuan yang aktif diwilayah publik sekarang bisa dilabel. Hati hati nanti kamu jadi Gerwani!!

Peristiwa Gerakan 30 September sudah membuat anggota PKI dan simpatisannya hidup menderita dibawah kekuasaan orde baru. Bukan hanya ditangkap, sebagian dari mereka bahkan harus kehilangan nyawa setelah sebelumnya mengalami penyiksaan di dalam tahanan. Sebagian yang masih selamat harus menjalani diskriminasi dan hidup sebagai orang yang kalah. Kondisi ini lebih diperparah dengan adanya istilah dosa turunan yang diberlakukan bagi anak cucu mereka.

Para mantan tahanan politik PKI dan keluarganya tidak mendapatkan persamaan hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Mereka tidak bisa mendaftar menjadi pegawai negeri sipil dan anggota tentara nasional indonesia. Pada salah satu kasus, ada orang tua yang harus membuat surat kematian supaya anaknya bisa diterima sebagai abdi negara. Meskipun sudah ada diantaranya yang menjadi wakil rakyat, tapi tetap saja stigma PKI sangat susah untuk dihilangkan. Tuduhan sebagai keluarga PKI bahkan di jadikan sebagai jurus ampuh untuk menyerang orang yang tidak disukai. Beberapa waktu lalu, salah satu calon presidenpun juga dikait kaitkan dengan PKI sebagai upaya untuk kampanye hitam.

Salah satu biang kerok munculnya berbagai diskriminasi itu adalah masih berlakunya Ketetapan MPRS Nomor 25 Tahun 1966. TAP MPRS ini dianggap sumber undang-undang dan peraturan lain yang telah berlaku tidak adil bagi seluruh keluarga eks tahanan politik PKI. mantan tahanan PKI beserta keluarga dianggap sebagai sampah yang tidak punya hak yang sama sebagai warga negara indonesia. Sebagian dari peraturan tersebut memang sudah revisi. Tapi masih ada beberapa peraturan yang dianggap melanggar hak azazi manusia korban peristiwa 65. 

Pasca reformasi Pemerintah Indonesia harus mengembalikan kesetaraan hak dan kewajiban  keluarga dan keturunan pki sebagai warga negara indonesia yang hilang pada masa orde baru. Salah satu jalan yang diambil adalah melalui rekonsiliasi nasional. tapi proses untuk melakukan rekonsiliasi ini ternyata tidaklah mudah, karena keluarga korban 65 ini dianggap belum memiliki kedudukan yang sama sebagai warga negara.

Untuk itulah pengungkapan kebenaran dan pelurusan fakta sejarah harus dilakukan demi keberhasilan rekonsiliasi ini. Pemerintah Indonesia harus bisa memberikan pengakuan dan status korban kepada keturunan tahanan politik PKI. Sehingga keluarga dan anak cucu tapol ini bisa diterima ditengah masyarakat dengan setara sebagai warga negara indonesia.

Pemerintah Indonesia juga harus menkaji ulang eksistensi ketetapan MPRS Nomor 25 Tahun 1966. TAP MPRS ini sudah tidak relevan pada zaman reformasi dan dekmokrasi sekarang ini. Ketakutan akan bangkitnya kekuatan komunis adalah alasan yang terlalu berlebihan. Tuntutan pencabutan TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 memang pernah diajukan oleh Abdurrahman Wahid waktu beliau  menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Hanya saja permintaan ini tidak mendapat reaksi yang positif dari anggota dewan.

Diskriminasi dengan alasan apapun harusnya dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap konstitusi. Undang undang dasar 1945 sebagai hirarki tertinggi dalam peraturan perundang undangan di indonesia menjamin hak tiap orang untuk berpandangan apa pun di negeri ini. Jadi Ketetapan MPRS Nomor 25 Tahun 1966 harus dicabut karena bertentangan dengan peraturan perundang undangan yang memiliki hirarki yang lebih tinggi. Selama TAP MPRS No 25 Tahun 1966 masih belum di cabut, persamaan hak dan kewajiban sebagai warga negara bagi keluarga dan keturunan tahanan politik PKI hanyalah akan jadi mimpi belaka.