Friday, August 8, 2014

Legenda Roro Jonggrang dan Tangkuban Perahu


Legenda adalah kisah yang tak jelas pengarangnya, proses kreatif penciptaannya, dan diceritakan secara turun temurun. Legenda biasanya menjadi atribut literal untuk sebuah fenomena alam yang menarik, di suatu tempat tertentu, yang terlalu sulit untuk dijelaskan dengan nalar.

Meski temaram, abu-abu dan terdengar tidak logis, legenda hidup subur di kalangan masyarakat terkait. Itulah sebabnya, legenda terus hidup, dihidupkan bersanding dengan karya-karya sastra yang lain. Bahan-bahan bacaan dalam pelajaran bahasa Indonesia siswa SD ditebari berbagai naskah naratif berwujud legenda. Ini adalah upaya agar legenda, bagian dari kesadaran literal tradisional, tetap melekat di hati komunitas legenda itu, dan di hati masyarakat nasional.

Karakter Loro Jonggrang dalam legenda Candi Sewu (yang dikenal di Jawa Tengah) dan legenda landmark Tangkuban Perahu (yang melekat di hati masyarakat Jawa Barat) beberapa hari ini marak jadi bahan bully di media sosial terkait situasi politik. Adalah Taufik Ridho, Sekjen PKS (Partai Keadilan Sejahtera) yang melontarkan kalimat  : “Ini kan tidak bisa dilakukan seperti Roro Jongrang membuat Tangkuban Perahu”. Kalimat ini dilontarkan untuk mengumpamakan bahwa pekerjaan mengumpulkan data kecurangan Pilpres tidak bisa dilakukan hanya dalam waktu singkat

Konten perumpamaan Taufik itu memang salah; selain salah dari segi rincian kisah, ia juga salah ketika menyebutkan Roro Jonggrang membuat sebuah perahu. Roro Jonggrang (biasa pula disebut Loro Jonggrang) tidak pernah dilegendakan sebagai membuat atau mengorder pembuatan perahu; ia minta dibuatkan seribu candi oleh Bandung Bondowoso, dalam cerita yang ber-setting Jawa Tengah. Sementara itu, Tangkuban Perahu merupakan objek dalam legenda gunung Tangkuban Perahu, yakni perahu yang menjadi bagian syarat pernikahan yang diminta oleh Dayang Sumbi agar dibuat oleh Sangkuriang dalam legenda yang ber-setting Pasundan. Baik 1.000 candi dan perahu dengan danaunya dalam dua legenda berbeda itu, memang disyaratkan untuk disiapkan dalam waktu semalam.

Perumpamaan sang Sekjen ini jelas mengundang reaksi anggota masyarakat yang sudah tahu persis isi legenda dan karakter-karakter dalam legenda tersebut; reaksi yang tentu saja hadir dalam bentuk bullying, yang mengarah kepada olok-olok betapa buta legendanya sang pelontar perumpamaan.

Taufik Ridho, melalui klarifikasi dengan kompas.com, sudah berusaha meluruskan lontarannya. “Saat itu, saya sedang jelaskan bahwa pengumpulan bukti kecurangan itu tidak mudah dan membutuhkan waktu yang lama. Tidak bisa dalam waktu satu malam saja. Yang saya katakan saat itu, hanya legenda Tangkuban Parahu dan legenda Roro Jonggrang yang bisa mengerjakan itu dalam satu malam,” ujar Taufik Ridho saat dihubungi Kompas.com, Rabu (6/8/2014).
Nah, apakah pembaca sekalian berhasrat untuk memahami atau mendapatkan rekonstruksi yang benar tentang dua legenda hebat itu? Berikut saya tulis ulang dua legenda tersebut dengan gaya saya. Legenda saya dapatkan dari berbagai sumber.

CANDI SEWU DAN RORO JONGGRANG

Dahulu kala, di bumi Jawa bagian tengah terdapat dua kerajaan bertetangga: Kerajaan Pengging dan Kerajaan Baka. Pengging kerajaan subur dan makmur, dipimpin raja Prabu Damar Maya. Prabu Damar Maya memiliki putra bernama Raden Bandung Bondowoso yang keren, gagah perkasa dan sakti mandraguna. Kerajaan Baka dipimpin oleh raksasa pemakan manusia bernama Prabu Baka. Prabu Baka diasisteni Patih Gupala yang juga adalah raksasa. Meskipun berasal dari bangsa raksasa, Prabu Baka—tak masalah bagaimana bisa–memiliki putri cantik bernama Rara Jonggrang, yang berarti ‘gadis ramping’.

Prabu Baka terkenal sebagai raja yang invasif dan ingin menguasai Pengging. Sang raja melatih balatentara dan menarik pajak dari rakyat untuk membiayai perang. Begitu balatentara siap, Prabu Baka beserta tentaranya menyerbu Pengging. Pertempuran meletus di kerajaan Pengging. Banyak jatuh korban di Pengging. Untuk membalas kekalahan, Prabu Damar Maya mengutus Pangeran Bandung Bondowoso untuk menyerang balik pasukan Prabu Baka. Pertempuran seru! Dan berkat kesaktiannya, Bandung Bondowoso berhasil menumbangkan Prabu Baka. Patih Gupala mundur ke kerajaan Baka.

Pangeran Bandung Bondowoso mengejar Patih Gupala hingga ke kerajaan Baka. Tiba di keraton Baka, Gupala melaporkan tewasnya Prabu Baka kepada Roro Jongrang. Sang putri berduka. Di tengah duka itu, Baka jatuh ke tangan balatentara Pengging, Pangeran Bandung Bondowoso menyerbu masuk ke dalam istana Baka. Ketika pertama kali melihat Putri Rara Jonggrang, seketika itu Bandung Bondowoso terpikat oleh kecantikan sang putri; love at first sight!

Tak peduli perempuan itu putri musuh, Bondowoso nekad melamar Rara Jonggrang. Roro Jonggrang tentu saja ogah dilamar pembunuh sang ayah. Bandung Bondowoso tak putus asa. Ia maju terus sampai Roro Jonggrang terbujuk dan akhirnya says yes. Tapi itu cuma di bibir. Agar niat Bondowoso terjegal, Roro Jonggrang membuat syarat yang sulit: ia minta Bondowoso membuat sumur Jolotundo dan membangun seribu candi dalam waktu semalam. Ini berat bagi Bondowoso. Namun, keelokan dan kesemampaian Roro Jonggarang telah membutakan hatinya; Bondowoso pantang mundur.

Dengan kesaktiannya, Bondowoso sukses menggali sumur pesanan sang permata hati. Roro Jonggrang gusar. Ia bilang pada Bondowoso, “Nice, Kakanda! Sekarang coba Kakanda masuk sumur dan periksa hasilnya,”

Bondowoso mengiyakan. Ia masuk ke relung terdalam sumur. Manakala Bondowoso berada di dasar sumur, kaki-tangan Roro Jonggrang yang sudah disiagakan menimbun sumur dengan bebatuan agar sang pangeran terkubur hidup-hidup.


Tapi, dasar manusia sakti, Bandung Bondowoso sukses mendobrak timbunan batu. Ia berang dipedaya seperti itu. Namun, lagi-lagi, si langsing Roro Jonggrang berhasil meredam amarah Bondowoso. Bondowoso melanjutkan mega proyek properti cinta seribu candi itu.

Kali ini Bondowoso tak kurang strategi. Ia undang jin, setan, dedemit, makhluk halus dan semi-halus lain penghuni jagat untuk mendukung proyek itu. Dengan kemampuan arsitektural dan civil engineering dan ketrampilan teknik konstruksi para pendukung, jadilah proyek itu: 999 candi. Jumlah candi inilah yang membuat Rara Jonggrang kecut. Ia tahu Bondowoso pasti bisa melengkapinya menjadi seribu dalam beberapa saat lagi sementara fajar masih lama datang.

Roro Jonggrang tak kurang gagasan. Ia membangunkan dayang-dayang istana dan memerintahkan mereka menumbuk padi. Awak istana ia perintahkan membakar jerami di belahan timur untuk menciptakan image rembang fajar. Ribuan ayam di seputaran kerajaan, mendengar bunyi tumbukan lesung dan melihat ufuk timur memerah, mengira pagi telah datang; berkokoklah riuhlah mereka bersahut-sahutan.

Para jin asisten Bondowoso panik. Bagi para jin, bila matahari mulai muncul, it’s time to go. Tinggalah Bondowoso sendiri menatap seribu candi yang kurang satu ketika fajar betulan beranjak datang.

You failed,” ujar Roro Jonggrang senang. Bondowoso marah luar biasa mendapati kecurangan yang meski tidak terstruktur, masif dan sistematis, namun teramat cerdas itu. Ia baru sadar ia dikadalin cewek imut pujaan hati itu. Ia mengutuk Roro Jonggrang menjadi batu. Sang putri berubah wujud menjadi arca terindah yang kita kenal sebagai arca Durga, yang menggenapi bangunan Candi Sewu, yang bisa Anda lihat sekarang.

TANGKUBAN PARAHU

Syahdan beribu-ribu tahun lalu, tanah Parahyangan dipimpin oleh seorang raja dan seorang ratu dengan putri tunggal bernama Dayang Sumbi. Sumbi elok, cantik, dan cerdas. Hobinya menenun. Suatu saat, ketika sedang menenun di beranda istana, benang pintal terjatuh dan menggelinding entah ke mana. Lama ia mencari tak ketemu juga. Tak senang kegiatannya terganggu, ia bersumpah, “Barang siapa bisa menemukan benang pintal saya, bila perempuan akan diangkat jadi saudara, dan bila lelaki akan jadi suami saya.”

Pintalan benang itu ternyata ditemukan oleh seekor anjing sakti bernama Tumang. Kebetulan Tumang adalah anjing jantan. Lantaran sumpah terlanjur diucapkan, dan lantaran Sumbi tahu dalam sumpah tersebut tak terjelaskan apakah ‘barang siapa’ itu harus manusia atau bukan, ia terpaksa harus mau diperistri Tumang.

Meski bersuamikan seekor guk-guk, Dayang Sumbi melahirkan seorang anak laki-laki cakep, yang ia beri nama Sangkuriang. Sangkuriang tumbuh jadi remaja, ganteng habis, lincah dan sehari-hari ditemani seekor anjing yang tak ia sadari adalah ayah sendiri.

Pada suatu hari Sumbi ingin sajikan steak untuk jamuan istana. Ia bilang pada Sangkuriang, “Nak, please go hunting. Bunda pingin para tetamu maem steak rusa.”

Sangkuriang langsung cabut ke hutan ditemani Tumang. Sialnya, siang itu tak terlihat seekor rusa pun. Ia tak ingin kecewakan bunda-nya. Timbul ide. Ia mengarahkan anak panah pada Tumang. Tumang tumbang. Sangkuriang menguliti Tumang dan menyerahkan daging Tumang kepada sang Bunda. Sumbi happy dengan hasil buruan Sangkuriang.

Ketika jamuan usai, Sumbi ia bertanya, “Apakah Ananda lihat Tumang? Tak Bunda lihat Tumang siang sampai sore ini.” Sangkuriang jadi meriang dan merasa bersalah. Ia akhirnya mengaku daging buruan itu adalah daging Tumang.

Sumbi murka. Ia menghantam kening Sangkuriang dengan gagang pengais nasi. Sangkuriang pingsan. Dan atas tuduhan kekerasan dalam rumah tangga, Sumbi diusir sang raja dari istana. Ketika Sangkuriang siuman dari pingsan, ia mendapati luka di kening dan mendapati kabar sang bunda telah terusir dari istana.


Beranjak makin dewasa, sebagai pemuda tegap, keren dan tampan, Sangkuriang pergi mengembara. Di sebuah desa pengembaraan, ia bertemu seorang perempuan cantik jelita yang bahkan ia tak tahu namanya dan berapa usianya. Terpikat dan terjerat cinta, Sangkuriang melontarkan lamaran. Gayung bersambut. Sang perempuan dewasa yang teramat cantik itu menerimanya. Sehari sebelum pernikahan kedua anak manusia ini berucap janji setia; mereka santai di sebuah taman dan sang perempuan mengelus mesra kening Sangkuriang. Ketika mengelus kening itulah rambut Sangkuriang terbelah. Sang perempuan menatap bekas luka di kening.

Wait! Bagaimana kau dapat luka ini, honey?” tanya sang perempuan.
“Dipukul ibu saya pakai gagang pengais nasi,” kata Sangkuriang jujur.
“Siapa namamu?” tanya perempuan itu, dadanya bergemuruh.
“Sangkuriang!”
Sontak si perempuan menghempaskan Sangkuriang jauh darinya.
Why, darling?” Sangkuriang bingung.
Sang perempuan berubah gundah. Perlukah ia mengatakan bahwa namanya adalah Dayang Sumbi, yang adalah ibu kandung Sangkuriang, the one yang menggetokkan gagang kayu pengais nasi ke kening itu?”

Dayang Sumbi berpikir keras. Ini aib. Pernikahan macam ini tak boleh terjadi. Namun Sumbi tak sanggup berkata sebenarnya. Timbul niat untuk mempersulit pernikahan itu. Ia mengajukan syarat: Sangkuriang boleh menikahinya kalau ia sanggup membuat sebuah bendungan yang bisa mengkover seluruh bukit dan membuat sebuah perahu untuk go sailing di bendungan itu. Semuanya harus rampung sebelum fajar.

Meski ini mission impossible, karena sudah blinded by love, Sangkuriang bilang sanggup. Ia manfaatkan kesaktian turunan dari sang ayah untuk hire sejumlah jin sakti ahli konstruksi, ahli hidrologi, ahli ilmu tanah, ahli lanskap dan semacamnya. Sangkuriang mulai bekerja keras, demi cinta. Jauh sebelum fajar, proyek kilat khusus itu rampung, kecuali perahu. Sangkuriang menemukan sebatang pohon besar dan mulai membangun perahu.

Sumbi gemetaran. Celakalah kalau perahu selesai dibuat sebelum fajar! Sumbi berdoa pada dewa-dewa, minta agar fajar datang lebih cepat. Doanya terkabul. Ratusan ayam jantan berkokok bersahut-sahutan, dan matahari mucul lebih awal.

Perahu baru setengah jadi. Sangkuriang sadar percepatan fajar ini hasil rekayasa Sumbi. Ia mengutuk Sumbi dan sekuat tenaga menendang perahu sampai terbalik. Sumbi dan Sangkuriang konon akhirnya menenggelamkan diri di danau buatan itu, dan perahu yang terbalik berubah wujud menjadi Gunung Tangkuban Parahu, yang dalam bahasa Sunda artinya ‘telungkupan perahu’, dalam bahasa Inggris the overturned boat.

Bila ditarik garis kesamaan, kita bisa lihat adanya sejumlah elemen yang sama dari dua legenda itu : putri raja yang cantik, pemuda di mabuk cinta, cinta tak dikehendaki dan cinta terlarang, pengorbanan demi cinta, periode waktu semalam, imposibilitas, peran ayam jantan, peran perempuan, peran jin dan makhluk alus dan moment fajar sebagai deadline.

Biarlah legenda tetap legenda, jangan berusaha ubah urutan cerita, objek cerita dan tokoh-tokohnya. Legenda adalah kekayaan dan kearifan masyarakat lokal dalam khazanah apreasiasi terhadap alam dan kreasi manusia.

Hidup legenda!

Sumber kutipan legenda :

http://m.kompasiana.com/post/read/667506/3/baca-ulang-dua-legenda-jonggrang-dan-perahu.html