Wednesday, January 16, 2013

Sejarah Agama dan Bangsa Yahudi

Sumber
A.    Pendahuluan
Ilmu Sejarah seperti ilmu-ilmu lainnya mempunyai unsur yang merupakan alat untuk mengorganisasi seluruh tubuh pengetahuannya serta menstrukturasi pikiran, yaitu metode sejarah. Kalau metode berkaitan dengan masalah “bagaimana orang memperoleh pengetahuan” (how to know), metodologi menyangkut soal “mengetahui bagaimana harus mengetahui” (to know how to know). Secara implisit metodologi mengandung unsur teori (Kartodirdjo, 1992: ix). Dalam kaitanya dengan sejarah, dengan sendirinya metode sejarah adalah “bagaimana mengetahui sejarah”, sedangkah metodologi adalah ”mengetahui bagaimana mengetahui sejarah (Sjamsuddin, 2007: 14).
Pada tahap awal suatu pengkajian, peneliti perlu menetapkan bagaimana hendak mendekati objek studinya; pendeknya menentukan approach atau pendekatan yang akan diterapkan. Pengkajian sejarah yang memakai pendekatan itu akan lebih mampu melakukan eksplanasi (penjelasan) daripada yang membatasi diri pada pengungkapan bagaimana sesuatu terjadi atau menguraikan kejadian sebagai narasi (cerita).
Suatu peristiwa harus diterangkan secara lebih jauh dan lebih mendalam mengenai bagaimana terjadinya, latar belakang kondisi sosial, ekonomis, politik, dan kulturalnya. Di sini kita memperoleh dasar legitimasi mengapa dalam studi sejarah diperlukan metodologi dan teori. Dalam perkembangannya pada abad ke-20 ini banyak dipakai konsep-konsep dan teori-teori yang berasal dari antropologi, sosiologi, dan ilmu sosial lainnya. Ada kecenderungan bahwa ilmu sejarah dan ilmu sosial mulai berkembang ke arah rapproachement (saling mendekati) (Kuntowijoyo, 2008: 117). Bagi studi sejarah, proses itu memberi keuntungan banyak dan memperbesar produktivitas penulisannya.
Dalam kajian sejarah klasifikasi yang dikemukakan oleh beberapa pakar sangat beragam, oleh Kuntowijoyo (1994: 19-130; 2003: 23-246) klasifikasi sejarah adalah, 1) sejarah sosial, 2) sejarah politik, 3) sejarah mentalitas, 4) sejarah pemikiran, 5) sejarah pedesaan, 6) sejarah Kebudayaan, 7) sejarah lisan, 8) sejarah kota, 9) sejarah Ekonomi pedesaan, 10) sejarah wanita, 11) sejarah local, 12) sejarah agama, 13) sejarah kuantitatif dan 14) biografi.
Selain Kuntowijoyo, klasifikasi yang lain juga dikemukaan oleh Suhartono (2010: 110) yaitu, 1) sejarah sosial, 2) sejarah politik, 3) sejarah mentalitas, 4) sejarah pemikiran, 5) sejarah agrarian (pertanian, perkebunan), 6) sejarah Kebudayaan dan kesenian, 7) sejarah lisan, 8) sejarah kota, 9) sejarah ekonomi, 10) sejarah perempuan, 11) sejarah lokal, 12) sejarah agama, 13) sejarah kuantitatif dan 14) sejarah psikologi, 15) sejarah demografi, 16) sejarah budaya rakyat, 17) sejarah nasional, 18) sejarah keluarga, 19) sejarah etnis, 20) sejarah pendidikan, 21) sejarah desa(petani) dan, 22) sejarah maritim.
Bertolak dari pemikiran diatas, penulis memilih topik sejarah agama dalam pembuatan review buku teori dan metodologi sejarah. Buku Dra. Hermawati, M.A. yang berjudul sejarah agama dan bangsa Yahudi, tentunya juga penulis menggunakan konsep, teori, dan metodologi. Selain itu juga menggunakan pendekatan yang digunakan untuk membantu dalam menganalisis peristiwa. Oleh karena itu kami akan mencoba untuk menganalisis pendekatan teori serta metodologi yang digunakan oleh penulis buku tersebut.
Dra. Hermawati, M.A lahir di Padang pada tanggal 26 Desember 1954, memperoleh gelar sarjana perbandingan agama Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1984, dan memperoleh gelar Magister Program Sejarah Peradaban Islam, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Sejak 1985 hingga saat ini, penulis adalah pengajar sejarah peradaban Islam, SPII, Agama-agama Dunia, Yudaisme. Buku tulisan Dra. Hermawati, M.A merupakan hasil penelitian yang kemudian diterbitkan menjadi buku oleh RajaGrafindo Persada tahun 2004, buku ini mengungkapkan fakta sejarah, terutama yang berkaitan dengan fakta sejarah terkait konflik Palestina dan Israel, yang beberapa minggu terakhir ramai diperbincangkan oleh media, lagi-lagi karena Israel membom bardir Jalur Gaza (Palestina).

B.     Menganalisi Konsep, Teori dan Metodologi
Kontak antara Israel dan Palestina dikategorikan pada hubungan internasional yang dapat didefinisikan sebagai berbagai rangkaian aksi dan reaksi antara kelompok, baik berbenruk Negara, bangsa, organisasi internasional, kelompok perorangan, maupun pribadi yang berpengaruh (Hamidjodjo, 1987: 1). Sebab hubungan internasional tidak hanya mencakup pada bidang politik, tetapi menjangkau segala kehidupan manusia, seperti ekonomi, sosial, budaya, agama, serta lainya. Sedangkan sebagai objek studi, hubungan internasional memeliki tujuan dasar untuk mempelajari perilaku internasional, yaitu perilaku para actor, Negara, maupun non Negara, didalam arena transaksi internasional (Mas’oed, 1990: 28). Perilaku tersebut dapat berupa perang, konflik, kerjasama, pembentukan aliansi, interaksi dalam organisasi internasional, dan sebagainya. Berdasarkan pada uraian ini, kasus persengketaan Palestina dan Israel dapat dikategorikan kedalam kajian studi hubungan Internasional, karena kasus tersebut membentuk rangkaian aksi-reaksi antara dua Negara, dan melibatkan Negara-negara lain dengan sifat hubungan yang konfliktual.
Konflik yang terjadi pada Palestina dan Israel terdorong dari Nasionalisme. Nasionalisme adalah kata dan paham yang pertama kali digunakan oleh Augustin Barruel pada tahun 1789. Nasionalisme merupakan paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepda Negara kebangasaan. Nasionalisme dapat terbentuk oleh ikatan rasa kebangsaan kelompok individu, persamaan ras, bahasa, warisan budaya, serta kesatuan atau kedekataan wilayah. Kesadaran nasioalisme pada bangsa-bangsa baru tumbuh sejak akhir abad ke-18 setelah sebelumnya kesetiaan individu hanya ditujukan kepada berbagai kekuasaan sosial, seperti pada organisasi politik, raja-raja, serta kesatuan ideology atau agama. Pada masa modern, nasionalisme dilembagakan dalam bentuk Negara. Unsure-unsur utama dalam pembentukan suatu Negara adalah wilayah, penduduk, pemerintahan yang sah, dan kedaulatan.
Kesadaran dan semangat nasionalisme bangsa-bangsa Arab baru timbul pada akhir abad ke 19, seiring dengan semakin menurunya pengaruh kekuasaan Imperium Turki Utsmani. Namun, semangat nasionalisme dan cita-cita pendirian Negara Palestina terbentur oleh kedatangan bangsa Yahudi ke wilayah mereka yang memiliki semgat dan cita-cita yang sama. Tujuanya adalah untuk mendirikan suatu tanah air untuk mempersatukan Bangsa Yahudi yang hidup terpencar-pencar diseluruh dunia (diaspora).
Benturan antara keduanya kemudian berkembang menjadi sebuah konflik terbuka yang memperebutkan wilayah Palestina. Disatu pihak, Palestina berjuang untuk merebut kembali wilayah tanah air mereka yang sah. Sedangkan Israel berusaha untuk mempertahankan dan memperluas wilayah yang telah berhasil direbut dan dikuasai. Umumya negara-negara yang baru berdiri mudah terjebak pada konflik-konflik serius yang disebabkan oleh ikatan-ikatan primordial. Ikatan primordial tersebut diartikan sebagai perasaan yang lahir dalam kehidupan sosial, sebagian besar dari hubungan langsung dan hubungan kekerabatan, tetapi juga meliputi keanggotaan dalam lingkungan agama tertentu. Frans Magnis Suseno mengartikan primordial sebagai “keterlibatan hati atau motivasi berdasarkan lingkungan sosial asli. Artinya satu-satunya loyalitas yang dirasakan adalah realitas sosial lingkungan pengalaman asli misalnya daerah, suku, agama, dan ras”. Clifford Greetz dalam bukunya The Integrative Revolution : Primordial Sentiments and Civil Politics in the New State tahun 1963, dalam hal ini berpendapat bahwa “pada negara-negara yang baru berdiri, salah satu penyebab konflik umumnya adalah masalah-masalah yang disebabkan oleh ikatan-ikatan primordial antara lain hubungan daerah (suku), jenis bangsa (ras), bahasa, kedaerahan, (regionalisme), agama, kebiasaan (tradisi). Meskipun sebagian besar masalah yang timbul dari ikatan-ikatan primordial tersebut terjadi di dalam wilayah suatu negara namun ada konflik internasional yang berpusat dan digerakan oleh ikatan-ikatan primordial negara-negara baru”.
Konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina, merupakan salah satu contoh sengketa, disebabkan oleh masalah primordial yang sudah berakar, sejak Israel memproklamasikan kemerdekaannya tahun 1948 sampai sekarang belum memperlihatkan tanda-tanda akan berakhir.
Disamping itu, sengketa tersebut juga dipengaruhi oleh adanya sentimen nasionalisme yang berbeda pada masing-masing pihak yang bersengketa. Dengan demikian, adanya kecintaan terhadap tanah, ras, bahasa atau budaya historis dan keinginan untuk memilih kemerdekaan secara politik, keamanan, kebanggaan terhadap bangsa, menyebabkan sengketa Israel dan Palestina menjadi masalah yang lebih kompleks karena masalah nasionalisme itu berkaitan langsung dengna primordial. Hal tersebut terlihat dari adanya keterkaitan antara rasa nasionalisme dengan agama dan etnis yang menyebabkan konflik menjadi kompleks.
Konflik antara Israel dan Palestina timbul karena kedua negara tersebut menginginkan wilayah Palestina. Palestina dianggap bernilai bagi masing-masing pihak dan berusaha untuk menghalangi keinginan pihak lainya. Dalam hal ini, kedua negara tersebut selalu berupaya melakukan tindakan-tindakan dengan tujuan untuk memenangkan konflik tersebut.
Werner Levi dalam bukunya International Politics Foundation of the Sistem tahun 1974, menyebutkan bahwa karakter yang dimiliki oleh suatu masyarakat akan memberikan nuansa khusus bagi hubungan antarnegara. Hal ini akan mengakibatkan penggunaan ancaman atau kekuatan oleh suatu negara dalam menyelesaikan konflik akan lebih menonjol. Jika suatu negara dapat menggunakan kekuatanya dengna sewenang-wenang dan sepihak, potensi destruktif yang diakibatkan oleh konflik tersebut menjadi semakin besar dan dampak sosial yang diakibatkan oleh konflik tersebut menjadi semakin besar dan dampak sosial yang harus dipikul untuk mengatasi konflik tersebut akan semakin luas. Oleh karena itu, dengan semakin meningkatnya penggunaan kekerasaan dalam masyarakat internasional, penyelesaian konflik yang bersifat konstruktif (negosiasi untuk mencapai promosi), cenderung diabaikan. 
Karena konflik tersebut juga berkaitan dengan sentimen agama, etnis, ideologi dan rasa nasionalis yang berbeda anata Palestina dan Israel, maka digunakan teori primordial dan teori nasionalisme. Dengan terjadinya konflik militer terbuka sejak tahun 1948 menunjukan bahwa konflik tersebut telah menjadi kekerasaan yang terorganisir, karena masing-masing pihak mempunyai sikap dan persepsi yang berbeda terhadap suatu masalah dan saling bermusuhan dan perlunya dimaksimalkan peranan negara-negara besar sebagai aktor internasional seperti AS dan sekutunya serta negara-negara Arab bagi kepentingan penyelesaian konflik tersebut sehingga dapat memperluas wilayah yang berhasil direbut dan dikuasainya.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mendamaikan kedua belah pihak dan menyelesaikan permasalahan yang berkepanjangan. Upaya-upaya tersebut kerap dilakukan melalui cara mediasi, melibatkan pihak ketiga untuk mencapai kompromi, dan mempertemukan kedua belah pihak dalam perundingan damai. Seperti berbagai upaya perundingan damai yang diprakrasai oleh negara-negara Arab di Timur Tengah antara lain Mesir, Arab Saudi, dan negera-negara yang tergabung dalam OKI, juga Amerika Serikat sejak tahun 1991. Namun kenyataanya, permasalahan tidak dapat diselesaikan. Hal ini disebabkan selain faktor sejarah dan politik, terdapat faktor religius yang ikut berperan dalam melatarbelakangi konflik. Paham zionisme bangsa Yahudi, yaitu paham semangat kebangsaann yang kental dilandasi oleh semangat keagamaan telah menyulut pula semangat keagamaan di pihak Palestina, terutama di kalangan umat Islam.
Kenyataan inilah yang sangat sulit untuk dapat dicarikan titik temu. Keadaan ini semakin bertambah rumit dengan adanya tumpang tindih kepentingan dari berbagai pihak yang ingin memainkan peran dan menanamkan pengaruhnya di kawasan Timur Tengah yang dalam perkembangan masalah ini khususnya Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainya.
Adapun teknik pengumpulan data penelitian ini, dilakukan dengan studi kepustakaan dari berbagai referensi, seperti buku-buku, jurnal ilmiah, majalah, koran, dan media lain yang relevan dengan penulisan buku ini.
Dalam menganalisis penulisan buku ini, digunakan deskriptif analisis dan historis yang bertujuan untuk menggambarkan fenomena sosial tertentu, fakta (konflik Palestina dan Israel) yang terjadi dan bagaimana dengan fenomena lain. Sedangkan metode pendekatan yang digunakan adalah kualitatif.
Buku ini kajiannya masuk ke dalam konteks sejarah agama. Untuk menjelaskan permasalahan, penulis buku ini menggunakan berbagai macam pendekatan. Sebagian buku ini memang hasil riset penulis dalam perkuliahan perbandingan agama dan studi agama-agama. Akan tetapi sebagian lain banyak diambil dari sumber-sumber sekunder, terutama dari buku dan riset sejarah yang dilakukan oleh peneliti lain. Meskipun demikian konstruksi ilmiah dari buku ini tetap berada dalam konstruksi penulis buku ini.
Buku ini tersusun menjadi tujuh bab. Bagian pertama berisi tentang pendahuluan. Pada bagian ini dilakukan analasis penelitian penulisan buku, dan alasan-alasan teori dalam penulisan buku.
Bagian kedua berisi Israel masa prasejarah, membahas tentang asal nama Israel, dan sejarahnya sampai masa kejayaan pada masa raja David (Daud) sampai masa kemunduran dan pembuangan (diaspora).
Bab tiga menceritakan berdirinya zionisme dan berdirinya negara Israel, seperti gerakan pembaharuan agama yahudi dan sejarah berdirinya gerakan Zionisme serta migrasi Yahudi dan berdirinya negara israel di Palestina.
Bagian empat membicarakan Palestina dalam lintas Sejarah, seperti sejarah awal Palestina dan sebelum kedatangan bangsa Arab, kemudian palestina masa Islam, peristiea perang salib dan pengaruhnya terhadap, dan palestina pada masa kekuasaan Turki Utsmani.
Bagian lima membahas tentang nasionalisme bangsa Palestina, seperti kebangkitan-nasionalisme bangsa Palestina, latar belakan berfirinya PLO, dan Hamas tentnag perjuanganya di Palestina.
Bab enam penulis membahas negara-negara Islam dalam penyelesaian konflik Israel dan Palestina seperti negara-negara di Arab, Mesir dan Organisasi Konfrensi Islam (OKI).
Bab ke tujuh merupakan bab terakhir merupakan bab penutup, dan penulis menyimpulkan pemaparan yang dilakukan dari awal sampai akhir sehingga menarik suatu kesimpulan.

C.    Kesimpulan
Konflik yang terjadi antara Palestina dan Israel melibatkan negara-negara Arab disebabkan oleh pendudukan wilayah Palestina dan negara-negara Arab oleh Israel. Mengkaji sejarah Israel, tidak terlepas dari sejarah Yahudi,  berawal sejak zaman Nabi Ibrahim yang mempunyai dua orang putra, yaitu Ismael dan Ishaq, kemudian keturunan Ishaq lahirlah Bani Israel. Ibrahim mampu tampil dengan revolusi pemikiran dengan melakukan protes terhadap tradisi masyarakat yang telah mapan.
Dalam perjalanan panjang sejarahnya, umat Yahudi merasakan masa-masa jaya seperti masa Daud dan Sulaiman. Namun pasca Sulaiman, mereka mengalami penjajahan, penindasan dan pengusiran (diaspora). Dalam masa pengasingan mereka tetap eksis, kemudian mampu menampilkan sebuah gerakan pembaruan yang lebih dikenal dengan gerakan Zionisme yang dicetuskan oleh Theodor Herzl. Melalui perjuangan Zionisme, Israel dibentuk menjadi sebuah negara. Mereka mngklaim Palestina sebagai wilayah leluhur mereka “tanah yang dijanjikan” Tuhan terhadap umat Yahudi.
Israel setelah memproklamirkan diri sebagai negara yang berdaulat, maka selalu mendapat bantuan, perlindungan dan dorongan dari AS dan sekutunya, sehingga bisa tampil menjadi negara yang terkuat di kawasan Timur Tengah. Begbagai perundingan kedua belah pihak sebenarnya telah dilakukan tetapi selalu mengalami kebuntuan yang disebabkan oleh dukungan lobi pro-Israel di negara-negara Barat yang mempunyai hak veto dalam PBB, disamping itu lemahnya persatuan negara-negara Arab menambahkan kendala dalam penyelesaian konflik. Pengaruh kemerdekaan Palestina seperti HAMAS dan organisasi lainya yang sering tidak sepakat dengan kebijakan penguasa resmi Palestina PLO, memperpanjang masalah yang dihadapi Palestina.

Perdagangan Kuno di Asia Tenggara

Peta Asia Tenggara Kuno (Sumber Gambar)

PENDAHULUAN
Manusia adalah mahluk sosial (zoon politicon). Hidup dan berinteraksi merupakan hal alamiah manusia karena dengan berinteraksilah manusia berinovasi dan membangun peradabannya. Salah satu interaksi manusia yang telah berlangsung sepanjang peradaban dibangun adalah upaya pemenuhan kebutuhan sehari-hari dengan saling menukar barang atau barter. Barter kemudian merupakan aktivitas perdagangan paling kuno sebelum manusia mengenal alat tukar seperti uang. Pemenuhan ekonomi atau kebutuhan dengan cara barter dipandang telah memberikan kontribusi positif dalam perkembangan sejarah manusia karena barter menjadi mediasi untuk membentuk sosialitas masyarakat dan pada titik inilah intensitas interaksi manusia terbangun.Perdagangan ala-barter dalam perkembangannya telah mempertemukan manusia dari segala penjuru belahan dunia, menyambungkan utara-selatan timur-barat dengan latarbelakang kebudayaan yang berbeda. Dalam historiografi modern, kita mengenal beberapa jalur perdagangan yang dapat menghubungkan Timur, Arab, Asia dan Barat salah satunya adalah jalur sutra.
Jalur Sutra merupakan jalan penghubung yang mempertemukan timur jauh (gujarat, India, Arab) dengan pedagang dari Asia (China) negara-negara bawah anggin (Malaka, Nusantara) dan juga pedagang dari Eropa. Inilah awal interaksi perdagangan (ekonomi) paling intens yang sekaligus menjadi pertemuan antar budaya-budaya berbeda, suatu model perdagangan Internasional konvensional. Kemunculan uang menjadikan manusia semakain mudah dalam menjalankan aktivitas perdagangan (ekonomi) dan barter perlahan mulai ditinggalkan meski demikian di beberapa tempat barter masih digunakan dalam perdagangan. Setelah terbukanya jalur-jalur baru seperti Asia tenggara dan Amerika Latin membuat manusia berlomba-lomba untuk dapat menguasai jalur tersebut. Salah satu jalur yang menjadi primadona terutama dalam kurun waktu sekitar abad ke-13 s/d 16 adalah Asia tenggara terutama kepulauan Nusantara (sekarang Indonesia).

PEMBAHASAN

A.  LETAK GEOGRAFIS INDONESIA
Kepulauan Indonesia terletak antara 5° 54' LU dan 11° LS, serta 95° 01’ BT dan 141° 02’ BT,  dimana wilayah lautan diketahui lebih luas dibandingkan dengan wilayah daratannya. Hal tersebut menunjukkan tentang letak geografis Indonesia yang terletak di kawasan Asia Tenggara, dengan posisi antara benua Asia dan Australia dan sering diumpamakan sebagai sebuah jembatan penghubung diantara kedua benua tersebut. Selain menjadi jembatan antara daratan Asia dan benua Australia, kepulauan Indonesia juga terletak dalam jalur perdagangan antara antara dua pusat perdagangan jaman kuno, yaitu India dan Cina. Sehingga letak Indonesia pada jalur perdagangan ini pada akhirnya mempengaruhi perkembangan sejarahnya.

Asia Tenggara memainkan peranan sangat penting  pada  periode luar biasa antara abad ke -15 dan ke-17. Perluasan perniagaan global  sangat mempengaruhinya sebagai sumber rempah-rempah yang dibutuhkan oleh dunia internasional dan sebagai kawasan maritim yang melintang di sepanjang rute perdagangan. Sumber rempah-rempah serta lada yang mendorong orang Spanyol berangkat ke Amerika dan akhirnya ke Philipina serta orang Portugal yang berlayar ke India sampai Asia Tenggara. Percepatan niaga, pertumbuhan kota, akumulasi modal merupakan bagian dari transisi menuju kapitalis tidak dapat dipungkiri juga terjadi di Asia Tenggara. Disisi lain, tidak ada kawasan di Asia yang menderita secepat dan sedalam Asia Tenggara akibat campur tangan orang Eropa.

Sebelum kedatangan bangsa barat, sistim perdagangan Asia Tenggara telah dibangun atas dua jalur perdagangan. Yaitu jalur sutera yang merupakan jalur darat yang berawal dari Cina melintas Asia Tenggara dan berakhir dilaut tengah, dan jalur perdagangan dengan menggunakan kapal yang mengandalkan angin sebagai penggeraknya. Dalam memenuhi permintaan internasional, produk Asia Tenggara harus diangkut dari hutan atau perkebunan. Mengangkut barang di pedalaman jauh lebih sulit daripada melewati laut. Kendala yang dirasakan dalam menggunakan  jalur darat adalah bea masuk di banyak tempat, perampokan yang lebih berbahaya dibandingkan dengan di laut, peperangan dan persaingan politik yang terkadang menyebabkan tertutupnya jalur dagang.Jalur laut  menggunakan kapal yang berdasarkan angin musim. Dari April sampai Agustus angin musim dapat dipastikan bertiup ke utara menuju daratan Asia; dari Desember sampai Maret angin bertiup ke selatan , dari daratan Asia ke Samudra Hindia dan Laut Cina Selatan. Arah angin inilah yang menentukan pola perdagangan maritim di Asia. (Anthony Reid 2011: 78).

B.   HUBUNGAN DAGANG ANTARA INDIA DAN INDONESIA
Akibat dari jalur laut ini munculah kota-kota dagang penting (emporium) seperti Aden, Bandar Abas, Kalikut, Malaka, Kanton dan sebagainya. Malaka merupakan pelabuhan besar yang penting di Asia Tenggara yang diperkirakan sudah berdiri sekitar tahun 1400 dan merupakan bandar dagang yang memiliki gudang-gudang besar. Komoditi yang diperdagangkan terutama adalah rempah-rempah dari Maluku, lada dari Sumatera, beras dari Jawa. Selain itu terdapat pula pelabuhan penting lainnya seperti Banten, Tuban, Gresik, Surabaya. Para ahli berpendapat akibat fluktuasi yang meningkat sejak tahun 1400 dari frekuensi dan volume perdagangan, telah dicapai puncaknya pada tahun 1630. Setelah itu menurun. Periode ini menurut Anthony Reid disebut sebagai “ Age of Commerce”.

Puncak aktivitas perniagaan di Asia Tenggara pada awal abad ke-17 semakin jelas. Inggris dan Belanda bersama Cina, Jepang,Spanyol, Portugal dan India berlomba untuk membeli produk kawasan tersebut seperti lada, cengkeh, pala, kayu manis, kayu cendana, dan sutra. Harga-harga membumbung tinggi dengan masuknya mata uang asing dari Jepang dan Eropa. Berbagai kain dari India diimpor ke kawasan ini untuk ditukarkan dengan barang ekspor, sedangkan dari Cina adalah barang-barang dari logam dan sutra.Tetapi kondisi ini tidak berlagsung lama, karena Orang Portugis kehilangan kekuasaan atas malaka yang jatuh ke tangan Belanda pada 1641. Maskapai dagang Belanda(VOC) menerapkan monopoli pada 1621, sehingga di sisi tertentu persaingan memperebutkan produk-produk lain masih tetap berlangsung, tetapi kemampuan VOC mendominasi pasokan hasil bumi Asia Tenggara membuat barang-arang ekspor ini kurang begitu menarik lagi di pasar Internasional.

Letak Indonesia dalam jalur perdagangan memberikan dampak terbentuknya kontak dagang Indonesia India dan Indonesia Cina. J.C Van Leur berpendapat bahwa hubungan dagang antara India dan Indonesia lebih dulu berkembang daripada hubungan dagang antara Indonesia dan Cina. (1955: 90). Kemungkinan ini terjadi karena diketahuinya angin musim yang baik untuk berlayar menyeberangi samudera India ke timur dan sebaliknya pada abad I M.Informasi tentang keadaan awal hubungan antara Indonesia dengan India sulit didapatkan karena tidak terdapatnya sumber-sumber yang memberikan keterangan dengan jelas. Sumber-sumber tertulis dari jaman itu yang berasal dari Indonesia tidak ada karena menurut hasil penelitian para ahli dikatakan bahwa informasi tertulis yang ada di Indonesia justru berasal dari tulisan India. Sementara di India tidak terdapat suatu kebiasaan untuk membuat catatan-catatan resmi mengenai kejadian-kejadian penting dalam suatu kurun-waktu. Sumber India yang dapat digunakan adalah sumber sastra yang tidak bertujuan untuk memberikan fakta-fakta yang lugas mengenai keadaan pada masa awal terjadinya hubungan antara Indonesia dan India.

Salah satu kitab yang banyak dijadikan sumber adalah kitab Ramayana, yang didalamnya menyebutkan nama-nama Yamadwipa dan Suwarnadwipa. Dalam bahasa Sansekerta, Yawa adalah jelai (beras) dan dwipa artinya pulau. Sehingga Yamadwipa mengandung arti pulau beras yang diidentikan dengan pulau Jawa. Sedangkan Suwarnadwipa berasal dari kata Swarna berarti emas dan dwipa yang berarti pulau, sehingga berarti pulau emas yang diidentikan dengan pulau Sumatera. Para ahli kemudian menggunakan kitab tersebut untuk mengungkapkan masa awal kedatangan pengaruh India di Indonesia.

Bukti yang ditemukan bahwa hubungan India dan Indonesia sudah terjadi pada abad II M adalah ditemukannya arca Budha di Sempaga (Sulawesi Selatan). Dilihat dari bentuknya, arca ini mempunyai langgam yang sama dengan arca yang dibuat di Amarawati (India). Para ahli memperkirakan, arca Buddha tersebut merupakan barang dagangan atau barang persembahan untuk bangunan suci agama Buddha.

Menurut Van Leur barang-barang yang diperdagangkan dalam pasaran internasional adalah barang-barang yang bernilai tinggi. Misalnya logam mulia, perhiasan, berbagai jenis tenunan, barang-barang pecah belah di samping bahan-bahan baku yang diperlukan untuk berbagai kerajinan. (1955: 63). Kayu Cendana, cengkih, kapur barus juga menjadi komoditas yang laku dalam perdagangan tersebut. Selain itu juga bahan-bahan ramuan untuk wangi-wangian dan obat. Jelas bahwa barang-barang tersebut diperlukan oleh masyarakat dengan taraf perkembangan tertentu sebagai konsumen.

C.  HUBUNGAN DAGANG ANTARA INDONESIA DAN CINA
Pada awalnya Asia Tenggara dianggap oleh Cina sebagai daerah yang belum beradab yang terletak jauh dari pusat peradaban Cina di Cina bagian utara. Perdagangan dengan negeri asing yang telah dilakukan oleh Cina sejak berabad-abad sebelum Masehi adalah perdagangan dengan Asia Barat. Jalur perdagangan itu melalui Asia Tengah yang sepenuhnya dilaksanakan melalui jalur-jalur perdagangan di daratan Asia. Pada abad IV M kemudian berkembanglah perdagangan maritim di Asia Barat ke Cina Selatan melalui kepulauan Indonesia. Secara tidak langsung hal ini berdampak pada meningkatnya peran Indonesia dalam perdagangan maritim antara Asia Barat dan Cina.

Adanya hubungan dagang antara Asia Barat dan Cina menunjukan bahwa komoditas perdagangan dari Asia Barat bernilai tinggi bagi Cina, maka pedagang-pedagang Indonesia harus dapat menyediakan barang dagangan yang dapat menyamai kedudukan barang-barang Asia Barat dalam penilaian orang Cina. Ternyata kekayaan bumi Indonesia dapat menyediakan barang-barang tersebut. Bahan wangi-wangian dari Asia Barat dapat disaingi dengan bahan yang dihasilkan Indonesia, misalnya kemenyan, kayu cendana, kapur barus. Disusul dengan perdagangan rempah-rempah serta berbagai hasil kerajinan dan binatang yang hanya terdapat di Indonesia.Keberhasilan bangsa Indonesia untuk memasuki pasaran perdagangan luar negeri dengan Cina adalah suatu tonggak sejarah bagi bangsa Indonesia. Hal itu merupakan suatu tahap nyata yang menyebabkan orang Indonesia sampai ke Cina dan sebaliknya orang Cina sampai ke Indonesia. 

D. PENDAPAT TENTANG PROSES MASUKNYA BUDAYA INDIA DI INDONESIA           
Hubungan dagang dengan India dan Cina telah menempatkan Indonesia di gelanggang perdagangan internasional jaman kuno. Tetapi pengaruh India dan Cina pada perkembangan sejarah Indonesia di jaman kuno berbeda. Hubungan dagang dengan India telah menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan dalam bentuk tatanan di sebagian daerah Indonesia. Selain itu telah terjadi pula perubahan dalam tata dan susunan masyarakat sebagai akibat penyebaran agama Budha dan Hindu. Pengaruh hubungan dengan Cina jauh lebih kecil.

Masuknya pengaruh budaya India dalam budaya Indonesia melalui hubungan dagang oleh para ahli dikelompokan dalam dua pendapat. Pendapat pertama bertolak dari anggapan bahwa bangsa Indonesia berlaku pasif dalam proses tersebut. Pendapat kedua yang tumbuh lebih akhir memberikan peranan aktif kepada bangsa Indonesia.

a. HIPOTESA KSATRIA
Teori ini beranggapan bahwa telah terjadi kolonisasi oleh orang-orang India. Koloni-koloni orang India ini menjadi pusat penyebaran budaya India. Bahkan ada yang berpendapat bahwa kolonisasi tersebut disertai pula oleh penaklukan. Hingga timbul gambaran orang-orang India sebagai golongan yang menguasai orang Indonesia. Dalam proses masuknya budaya India menurut gambaran di atas peranan utama dipegang oleh golongan prajurit, yaitu kasta Ksatria. Oleh karena itu F.D.K. Bosch menyebutnya sebagai hipotesa ksatria. 
b. HIPOTESA WAISYA
Menurut N.J. Krom, golongan pedagang dari kasta Waisya merupakan golongan terbesar yang datang ke Indonesia. Mereka menetap di Indonesia dan kemudian memegang peran penting dalam proses penyebaran kebudayaan India melalui hubungan mereka dengan penguasa-penguasa Indonesia. Krom menyampaikan kemungkinan adanya perkawinan antara pedagagng-pedagang tersebut dengan wanita Indonesia. Perkawinan dengan demikian merupakan saluran penyebaran pengaruh yang penting.Krom menyatakan tidak sependapat dengan hipotesa ksatria. Berdasarkan pengamatan berbagai aspek budaya Indonesia dan Hindu, dikatakan bahwa unsur budaya Indonesia dalam budaya tersebut masih sangat jelas. Ia berkesimpulan bahwa peranan budaya Indonesia dalam proses pembentukan budaya Indonesia-Hindu sangat penting. Hal tersebut tidak mungkin dapat terjadi jika bangsa Indonesia hidup dibawah tekanan seperti yang tergambarkan oleh hipotesa ksatria.
c.  HIPOTESA BRAHMANA
Van Leur mengajukan keberatan baik terhadap hipotesa ksatria maupun hipotesa waisya. Keberatan pertama adalah mengenai kolonisasi. Suatu kolonisasi yang melibatkan penaklukan oleh golongan ksatria tentunya akan dicatat sebagai suatu kemenangan. Catatan demikian tidak ditemukan dalam sumber-sumber tertulis di India maupun tanda peringatan apa pun yang dibangun di Indonesia, yang disebut jayastamba. (Prof.Dr.M.Habib Mustopo dkk.2007; Hal.3). Selain itu, suatu kolonisasi selalu disertai oleh pemindahan segala unsur masyarakat dari tanah asal. Misalnya sistem kasta, kerajinan, bentuk rumah, tatakota, bahasa pergaulan dan sebagainya. Dalam kenyataannya apa yang terdapat di Indonesia berbeda dengan yang terdapat di India. Kalaupun ada pedagang-pedagang India yang menetap, mereka bertempat tinggal di perkampungan-perkampungan khusus yang sering disebut dengan Kampung Keling. Kedudukan mereka di tempat itu hanyalah sebagai rakyat biasa dan hubungan dengan penguasa hanyalah dalam bidang perdagangan.Dengan melihat unsur-unsur budaya India yang berpengaruh ke Indonesia, J.C. van Leur mengutarakan bahwa kaum brahmana sangat berperan dalam penyebaran agama dan kebudayaan Hindu ke Indonesia. Mereka datang atas undangan para penguasa Indonesia. Kaum Brahmana diundang ke Indonesia untuk melakukan upacara khusus menjadikan seseorang menjadi pemeluk Hindu yang disebut vratyastoma (Prof.Dr.M.Habib Mustopo dkk. 2007: 3).
d.  HIPOTESA SUDRA
Teori ini menyatakan bahwa agama Hindu masuk ke Indonesia dibawa oleh kasta sudra. Mereka datang ke Indonesia dengan tujuan mengubah kehidupan karena di India mereka hanya hidup sebagai pekerja kasar dan budak.
e.  HIPOTESA ARUS BALIK
Peran aktif bangsa Indonesia dalam penyebaran pengaruh budaya Hindu di Indonesia dapat terlihat dari keinginan memperdalam ilmu pengetahuan tentang budaya Hindu tersebut ke tempat asalnya yaitu India setelah mengenalnya di Indonesia. Pada saat bekal pengetahuan budaya Hindu sudah cukup mereka kembali ke Indonesia untuk menyebarluaskan ke Indonesia.Hipotesa arus balik ini menjelaskan juga tentang penyuburan (istilah yang lain menyebut dengan fecundation) agama Budha yang pada awalnya telah dilakukan oleh pendeta agama Budha.Pendeta Budha dari India tersebut menemui penguasa-penguasa istana dan mengajarkan agama mereka. Kemudian dibentuklah sanggha (perkumpulan belajar tentang agama Budha) dengan biksu-biksunya. Kedatangan biksu-biksu India di berbagai negeri ternyata mengundang arus biksu dari Indonesia ke India, yang pada akhirnya kembali ke Indonesia dengan membawa kitab suci, pengetahuan dan kesan-kesan.Melalui informasi dalam hipotesa-hipotesa proses masuknya pengaruh Hindu dari India ke Indonesia memberikan gambaran tersebarnya budaya India di Indonesia yang tentu saja akan memberikan pengaruh-pengaruh dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

E.   PENGARUH MASUKNYA BUDAYA INDIA KE INDONESIA
Dari uraian di atas dapat kita ketahui bahwa hubungan dagang antara Indonesia dan India merupakan faktor penting dalam proses masuknya pengaruh budaya India. Tetapi proses masuknya pengaruh budaya India itu sendiri adalah sesuatu yang terpisah dari proses perdagangan. Akibat dari proses tersebut, misalnya perubahan dalam birokrasi pemerintahan, agama dan kepercayaan, seni sastra, seni rupa, seni bangunan suci, tata upacara di kraton, organisasi ketatanegaraan, dan kelembagaan masyarakat.

Yang menarik dalam pertemuan budaya Indonesia dan budaya India ini adalah unsur budaya Indonesia masih nampak dominan sekali dalam semua lapisan masyarakat. Sebagai contoh adalah tentang kasta di Bali sekarang, tidak menggambarkan keadaan seperti di India. Sehingga dapat dikatakan bahwa bangsa Indonesia melaksanakan teori tentang kasta tetapi tidak memindahkan ujudnya yang telah tercipta dalam perkembangan di India. Demikian pula dalam seni bangunan candi di Indonesia, candi adalah bangunan yang mengandung unsur budaya India tetapi dalam pembangunannya para seniman Indonesia hanya menggunakan dasar-dasar teoritis yang tercantumdalam Silpasastra (kitab petujuk pembuatan arca dan bangunan) sebagai dasar untuk konsep pelaksanaannya. Bangsa Indonesia hanya mengambil unsur budaya India sebagai dasar ciptaannya, hasilnya adalah sesuatu yang bercorak Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

1. Anthony Reid. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 20112. Leur, J.C. van. Indonesian Trade and Society. The Hague/ Bandung: W. Van Hoeve, 19553. Prof.Dr. M. Habib Mustopa dkk. Sejarah SMA Kelas XI IPA. Yudhistira, 2007

FILSAFAT PERENIALISME DALAM PENDIDIKAN

BAB I
PENDAHULUAN

Secara Etimologi kata Filsafat dan filosof berasal dari bahasa Yunani “Philosophia” dan “Philosophos”. Menurut bentuk kata, seorang philosphos adalah seorang pencinta kebijaksanaan. Sebagian lain mengatakan bahwa filsafat adalah cinta akan kebenaran. Filsafat sering pula diartikan sebagai pandangan hidup. Dalam dunia pendidikan, filsafat mempunyai peranan yang sangat besar. Karena, filsafat yang merupakan pandangan hidup itu menentukan arah dan tujuan proses pendidikan. Filsafat dan pendidikan memiliki hubungan yang erat, karena pada hakekatnya pendidikan adalah proses pewarisan dari nilai-nilai filsafat. Dalam pendidikan diperlukan bidang filsafat pendidikan. Filsafat pendidikan sendiri adalah ilmu yang mempelajari dan berusaha mengadakan penyelesaian terhadap masalah-masalah pendidikan yang bersifat filosofis. Secara filosofis, pendidikan adalah hasil dari peradaban suatu bangsa yang terus menerus dikembangkan berdasarkan cita-cita dan tujuan filsafat serta pandangan hidupnya, sehingga menjadi suatu kenyataan yang melembaga di dalam masyarakatnya.
Ajaran filsafat adalah hasil pemikiran filosofis tentang sesuatu secara fundamental. Dalam memecahkan persoalan masing-masing filosofis akan menggunakan teknik atau pendekatan yang berbeda, sehingga melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang berbeda pula. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh latar belakang pribadi filosofis tersebut, pengaruh zaman, kondisi atau alam pikiran para filosofis. Dari perbedaan itu kemudian lahirlah aliran-aliran atau sistem filsafat. Beberapa aliran atau mazhab dalam filsafat antara lain seperti materialism, idealism, realisme, pragmatisme, dan lain-lain. Filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat sehingga aliran dalam filsafat pendidikan sekurang-kurangnya sebanyak filsafat itu sendiri. Brubacher (1950) mengelompokkan filsafat pendidikan pada dua kelompok besar, yaitu Filsafat pendidikan “progresif” yang diidukung oleh filsafat pragmatisme dari John Dewey, dan romantik naturalisme dari Roousseau dan filsafat pendidikan “ Konservatif”, yang didasari oleh filsafat idealisme, realisme humanisme (humanisme rasional), dan supernaturalisme atau realisme religius. Filsafat-filsafat tersebut melahirkan filsafat pendidikan esensialisme, perenialisme,dan sebagainya. Perenialisme merupakansuatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh. Perenialisme berasal dari kata perennial yang berarti abadi, kekel, atau selalu. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. perenialisme menentang pandangan progresifisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru.
Dalam pendidikan, kaum perenialis berpandangan bahwa dalam dunia yang tidak menentu dan penuh kekacauan serta membahayakan tidak ada satupun yang lebih bermanfaat dari pada kepastian tujuan pendidikan, serta kesetabilan dalam perilaku pendidik. Mohammad Noor Syam (1984) mengemukaan pandangan perenialis, bahwa pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannyapada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh. Perenialisme memendang pendidikansebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan manusia sekarang dalam kebuyaan ideal.

BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Perenialisme
Perenialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh. Perenialisme berasal dari kata perennial yang berarti abadi, kekel, atau selalu. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. perenialisme menentang pandangan progresifisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru.(1)
Dalam pendidikan, kaum perenialis berpandangan bahwa dalam dunia yang tidak menentu dan penuh kekacauan serta membahayakan tidak ada satupun yang lebih bermanfaat dari pada kepastian tujuan pendidikan, serta kesetabilan dalam perilaku pendidik. Mohammad Noor Syam (1984) mengemukaan pandangan perenialis, bahwa pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya pada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh. Perenialisme memendang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan manusia sekarang dalam kebuyaan ideal.
·         Pandangan mengenai kenyataan
Perenialisme berpendapat bahwa apa yang dibutuhkan manusia terutama adalah jaminan bahwa reality is universal that is every where and at every moment the same (2:299) realita itu bersifat universal bahwa realita itu ada dimana saja dan sama di setiap waktu.
·         Pandangan mengenai nilai
Perenialisme berpandangan bahwa persoalan nilai adalah persoalan spiritual, sebab hakikat manusia adalah pada jiwanya. Sedangkan perbuatannya merupakan pancaran isi jiwanya yang berasal dari dan dipimpin oleh Tuhan.
·         Pandangan mengenai pengetahuan
Kepercayaan adalah pangkal tolak perenialisme mengenai kenyataan dan pengetahuan. Artinya sesuatu itu ada kesesuaiannya antara piker (kepercayaan) dengan benda-benda. Sedang yang dimaksud benda adalah hal-hal yang adanya bersendikan atas prinsip keabadian.
·         Pandangan tentang pendidikan
Teori atau konsep pendidikan perenialaisme dilatarbelakangi oleh filsafat-filsafat plato sebagai Bapak Idealisme Klasik, filsafat Aristoteles sebagai Bapak Realisme Klasik, dan Filsafat Thomas Aquina yang mencoba memadukan antara filsafat Aristoteles dengan dengan ajaran Gereja Katolik yang tumbuh pada zamannya.
·         Pandangan mengenai belajar
Teori dasar dalam belajar menurut perenialisme adalah mental disiplin sebagai teori dasar penganut perenialisme sependapat bahwa latihan dan pembinaan berfikir (mental dicipline) Dlah salah satu kewajiban dari belajar, atau keutamaan dalam proses belajar (yang tertinggi). Karena itu teori dan program pendidikan pada umumnya dipusatkan kepada pembinaan kemampuan.
 
B. Tempat Asal Aliran Perenialisme Dikembangkan
Di zaman kehidupan modern ini banyak menimbulkan krisis diberbagai bidang kehidupan manusia, terutama dalam bidang pendidikan. Untuk mengembalikan keadaan krisis ini, maka perenialisme memberikan jalan keluur yaitu berupa kembali kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan teruji ketangguhannya. Untuk itulah pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya kepada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh
Jelaslah bila dikatakan bahwa pendidikan yang ada sekarang ini perlu kembali kepada masa lampau, karena dengan mengembalikan keapaan masa lampau ini, kebudayaan yang dianggap krisis ini dapat teratasi melalui perenialisme karena ia dapat mengarahkan pusat perhatiannya pada pendidikan zaman dahulu dengan sekarang. Perenialisme rnemandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan sekarang. Perenialisme memberikan sumbangan yang berpengaruh baik teori maupun praktek bagi kebuoayaan dan pendidikan zaman sekarang.
Dari pendapat ini sangatlah tepat jika dikatakan bahwa perenialisme memandang pendidikan itu sebagai jalan kembali yaitu sebagai suatu proses mengembalikan kebudayaan sekarang (zaman modern) in terutama pendidikan zaman sekarang ini perlu dikembalikan kemasa lampau. Perenialisme merupakan aliran filsafat yang susunannya mempunyai kesatuan, di mana susunannya itu merupakan hasil pikiran yang memberikan kemungkinan bagi seseorang untuk bersikap yang tegas dan lurus. Karena itulah perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan arah tujuan yang jelas merupakan tugas yang utama dari filsafat khususnya filsafat pendidikan. Setelah perenialisme menjadi terdesak karena perkembangan politik industri yang cukup berat timbulah usaha untuk bangkit kembali, dan perenialisme berharap agar manusia kini dapat memahami ide dan cita filsafatnya yang menganggap filsafat sebagai suatu azas yang komprehensif Perenialisme dalam makna filsafat sebagai satu pandangan hidup yang bcrdasarkan pada sumber kebudayaan dan hasil-hasilnya. (2)
C. Tokoh-tokoh Perenialisme
1. Aristoteles dan St. Thomas Aquinas
Filsafat perenialisme terkenal dengan bahasa latinnya Philosophia Perenis. Pendiri utama dari aliran filsafat ini adalah Aristoteles sendiri, kemudian didukung dan dilanjutkan oleh St. Thomas Aquinas sebagai pemburu dan reformer utama dalam abad ke-13. Perenialisme memandang bahwa kepercayaan-kepercayaan aksiomatis zaman kuno dan abad pertengahan perlu dijadikan dasar penyusunan konsep filsafat dan pendidikan zaman sekarang. Sikap ini bukanlah nostalgia (rindu akan hal-hal yang sudah lampau semata-mata) tetapi telah berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan-kepercayaan tersebut berguna bagi abad sekarang.
Jadi sikap untuk kembali kemasa lampau itu merupakan konsep bagi perenialisme di mana pendidikan yang ada sekarang ini perlu kembali kemasa lampau dengan berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan itu berguna bagi abad sekarang ini.
2. Plato
Asas-asas filsafat perenialisme bersumber pada filsafat, kebudayaan yang mempunyai dua sayap, yaitu perenialisme yang theologis yang ada dalam pengayoman supermasi gereja Katholik, khususnya menurut ajaran dan interpretasi Thomas Aquinas, dan perenialisme sekular yakni yang berpegang kepada ide dan cita filosofis Plato dan Aristoteles. Pendapat di atas sejalan dengan apa yang dikemukakan H.B Hamdani Ali dalam bukunya filsafat pendidikan, bahwa Aristoteles sebagai mengembangkan philosophia perenis, yang sejauh mana seseorang dapat menelusuri jalan pemikiran manusia itu sendiri. ST. Thomas Aquinas telah mengadakan beberapa perubahan sesuai dengan tuntunan agama Kristen tatkala agama itu datang. Kemudian lahir apa yang dikenal dengan nama Neo-Thomisme. Tatkala Neo-Thomisme masih dalam bentuk awam maupun dalam paham gerejawi sampai ke tingkat kebijaksanaan, maka ia terkenal dengan nama perenialisme.
Pandangan-pandangan Thomas Aquinas di atas berpengaruh besar dalam lingkungan gereja Katholik. Demikian pula pandangan-pandangan aksiomatis lain seperti yang diutarakan oleh Plato dan Aristoteles. Lain dari itu juga semuanya mendasari konsep filsafat pendidikan perenialisme. Neo-Scholastisisme atau Neo-Thomisme ini berusaha untuk menyesuaikan ajaran-ajaran Thomas Aquinas dengan tuntutan abad ke dua puluh. Misalnya mengenai perkembangan ilmu pengetahuan cukup dimengerti dan disadari adanya. Namun semua yang bersendikan empirik dan eksprimentasi hanya dipandang sebagai pengetahuan yang fenomenal, maka metafisika mempunyai kedudukan yang lebih penting.
Mengenai manusia di kemukakan bahwa hakikat pengertiannya adalah di tekankan pada sifat spiritualnya. Simbol dari sifat ini terletak pada peranan akal yang karenanya, manusia dapat mengerti dan memaham'i kebenaran-kebenaran yang fenomenal maupun yang bersendikan religi (Bamadib, 1990: 64-65). Jadi aliran perenialisme dipakai untuk program pendidikan yang didasarkan atas pokok-pokok aliran Aristoteles dan S.T Thomas Aquinas. Tokoh-tokoh yang mengembangkan ini timbul dari lingkungan agama Katholik atau diluarnya.

D. Pandangan Perenialisme dan Penerapannya di Bidang Pendidikan
Ilmu pengetahuan merupakan filsafat yang tertinggi menurut perenialisme, karena dengan ilmu pengetahuanlah seseorang dapat berpikir secara induktif yang bersifat analisa. Jadi dengan berpikir maka kebenaran itu akan dapat dihasilkan melalui akal pikiran. Menurut epistemologi Thomisme sebagian besarnya berpusat pada pengolahan tenaga logika pada pikiran manusia. Apabila pikiran itu bermula dalam keadaan potensialitas, maka dia dapat dipergunakan untuk menampilkan tenaganya secara penuh. Jadi epistemologi dari perenialisme, harus memiliki pengetahuan tentang pengertian dari kebenaran yang sesuai dengan realita hakiki, yang dibuktikan dengan kebenaran yang ada pada diri sendiri dengan menggunakan tenaga pada logika melalui hukum berpikir metode dedduksi, yang merupakan metode filsafat yang menghasilkan kebenaran hakiki, dan tujuan dari epistemologi perenialisme dalam premis mayor dan metode induktifnya sesuai dengan ontologi tentang realita khusus.
Menurut perenialisme penguasaan pengetahuan mengenai prinsip-prinsip pertama adalah modal bagi seseorang untuk mengembangkan pikiran dan kecerdasan. Prinsip-prinsip pertama mampu mempunyai penman sedemikian, karena telah memiliki evidensi diri sendiri. Dengan pengetahuan, bahan penerangan yang cukup, orang akan mampu mengenal faktor-faktor dengan pertautannya masing-masing memahami problema yang perlu diselesaikan dan berusaha untuk men gadakan penyelesaian masalahnya. Dengan demikian ia telah mampu mengembangkan suatu paham.(3)
Anak didik yang diharapkan menurut perenialisme adalah mampu mengenal dan mengembangkan karya-karya yang menjadi landasan pengembangan disiplin mental. Karya-karya ini merupakan buah pikiran tokoh-tokoh besar pada masa lampau. Berbagai buah pikiran mereka yang oleh zaman telah dicatat menonjol dalam bidang-bidang seperti bahasa dan sastra, sejarah, filsafat, politik, ekonomi, matematika, ilmu pengetahuan alam dan lain-lainnya, telah banyak yang mampu memberikan ilmunisasi zaman yang sudah lampau
Dengan mengetahui tulisan yang berupa pikiran dari para ahli yang terkenal tersebut, yang sesuai dengan bidangnya maka anak didik akan mempunyai dua keuntungan yakni:
1.      Anak-anak akan mengetahui apa yang terjadi pada masa lampau yang telah dipikirkan oleh orang-orang besar.
2.      Mereka memikirkan peristiwa-peristiwa penting dan karya­karya tokoi1 terse but untuk diri sendiri dan sebagai bahan pertimbangan (reverensi) zaman sekarang.
Jelaslah bahwa dengan mengetahui dan mengembangkan pemikiran karya-karya buahpikiran para ahli tersebut pada masa lampau, maka anak-anak didik dapat mengetahui bagaimana pemikiran para ahli terse­but dalam bidangnya masing-masing dan dapat mengetahui bagaimana peristiwa pada masa lampau tersebut sehingga dapat berguna bagi diri mereka sendiri, dan sebagai bahan pertimbangan pemikiran mereka pada zaman sekarang ini. Hal inilah yang sesuai dengan aliran filsafat pereni­alisme tersebut.
Tugas utama pendidikan adalah mempersiapkan anak didik ke arah kemasakan. Masak dalam arti hidup akalnya. ladi akal inilah yang perlu mendapat tuntunan ke arah kemasakan tersebut. Sekolah rendah memberikan pendidikan dan pengetahuan serba dasar. Dengan pengetahuan yang tradisional seperti membaca, menulis dan berhitung anak didik memperoleh dasar penting bagi pengetahuan-pengetahuan yang lain. Sekolah sebagai tempat utama dalam pendidikan yang mempersiapkan anak didik ke arah kemasakan melalui akalnya dengan memberikan pengetahuan. Sedangkan sebagai tugas utama dalam pendidikan adalah guru-guru, di mana tug as pendidikanlah yang memberikan pendidikan dan pengajaran (pengetahuan) kepada anak didik. Faktor keberhasilan anak dalam akalnya sangat tergantung kepada guru, dalam arti orang yang telah mendidik dan mengajarkan.
Adapun mengenai hakikat pendidikan tinggi ini, Robert Hutchkins mengutarakan lebih lanjut, bahwa kalau pada abad pertengahan filsafat teologis, sekarang seharusnya bersendikan filsafat metafisika. Filsafat ini pada dasarnya adalah cinta intelektual dari Tuhan. Di samping itu, dikatakan pula bahwa karena kedudukan sendi-sendi tersebut penting maka perguruan tinggi tidak seyogyanya bersifat utilistis. Dari ungkapan yang diutarakan oleh Robert Hutchkins di atas mengenai hakikat pendidikan tinggi itu, jelaslah bahwa pendidikan tinggi sekarang ini hendaklah berdasarkan pada filsafat metafisika yaitu filsafat yang berdasarkan cinta intelektual dari Tuhan. Kemudian Robert Hutchkins mengatakan bahwa oleh karena manusia itu pada hakikatnya sama, maka perlulah dikembangkan pendidikan yang sama bagi semua orang, ini disebut pendidikan umum (general education). Melalui kurikulum yang satu serta proses belajar yang mungkin perlu disesuaikan dengan sifat tiap individu, diharapkan pada setiap individu tersebut terbentuk atas dasar landasan kejiwaan yang sama.
E. Pandangan dan Sikap tentang Aliran Perenialisme
1. Pandangan secara Ontologi
Ontologi perennialisme terdiri dari pengertian-pengertian seperti benda individuIl, esensi, aksiden dan substansi. Perennialisme membedakan suatu realita dalam aspek-aspek perwujudannya menurut istilah ini. Benda individual disini adalah bend a sebagaimana nampak diha­dapan manusia dan yang ditangkap dengan panca indera seperti batu, lembu, rumput, orang dalam bentuk, ukuran, warna dan aktifitas tertentu.
Misalnya bila manusia ditinjau dari esensinya adalah makhluk berpikir. Adapun aksiden adalah keadaan-keadaan khusus yang dapat berubah-ubah dan yang sifatnya kurang penting dibandingkan dengan esensial, misalnya orang suka bermain sepatu roda, atau suka berpakaian bagus, sedangkan substansi adalah kesatuan dari tiap-tiap individu, misalnya partikular dan uni versal, ma­terial dan spiritual.
Jadi segala yang ada di alam semesta ini seperti halnya manusia, batu bangunan dasar, hewan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya mem­pakan hal yang logis dalam karakternya. Setiap sesuatu yang ada, tidak hanya merupakan kambinasi antara zat atau bend a tapi merupakan unsur patensiaJitas dengan bentuk yang merupakan unsur aktualitas sebagaimana yang diutarakan aleh Aristateles tetapi ia juga merupakan sesuatu yang datang bersama-sama dari sesuatu "apa" yang terkandung dalam inti (essence) dan potensialitas dengan tindakan untuk "berada" yang merupakan unsur aktualitas sebagaimana yang diungkapkan oleh ST. Thomas Aquinas.
Uraian di atas sejalan dengan apa yang dikatakan I.R Poedjawijatna bahwa esensi dari pada kenyataan itu adalah menuju ke arah aktualitas, sehingga makin lama makin jauh dari patensialitasnya. Bila dihubungkan dengan manusia, maka manusia itu setiap waktu adalah patensialitas yang sedang berubah menjadi aktualitas. Misalnya meskipun manusia dalam hidupnya jarang dikuasai oleh sifat eksistensi kemanusiaan, tidak jarang pula dimilikinya akal, perasaan dan kemauan­nya, Schula ini dapat dikurangi. Hal-hal yang bersifat partikular yang merintangi kehidupan dapat diatasi. Maka dengan peningkatan suasana hidup spiritual ini manusia dapat makin mendekatkan diri kepada gerak yang tanpa gerak itu, ialah tujuan dan bentuk terakhir dari segalanya.
2. Pandangan Epistemologis Perennialisme
Perenialisme berpendapat bahwa segala sesuatu yang dapat diketahui dan merupakan kenyataan adalah apa yang terlindung pada kepercayaan. Kebenaran adalah sesuatu yang menunjukkan kesesuaian an tara pikir dengan benda-benda. Benda-benda disini maksudnya adalah hal-hal yang adanya bersendikan atas prinsip-prinsip keabadian. lni berarti bahwa perhatian mengenai kebenaran adalah perhatian mengenai esensi dari sesuatu. Kepercayaan terhadap kebenaran itu akan terlindung apabila segala sesuatu dapat diketahui dan nyata. Jelaslah bahwa penge­tahuan itu inerupakan hal yang sangat penting karena ia merupakan pengolahan akal pikiran yang konsekuen.
Menurut perenialisme filsafat yang tertinggi adalah ilmu metafisika. Sebab science sebagai ilmu pengetahuan menggunakan metode induktif yang bersifat analisa empiris kebenarannya terbatas, relatif atau kebenaran probability. Tetapi filsafat dengan metode deduktif bersifat anological analysis, kebenaran yang dihasilkannya bersifat self evidence universal, hakiki dan berjalan dengan hukum-hukum berpikir sendiri yang berpangkal pada hukum pertama, bahwa kesimpulannya bersifat mutlak asasi.
3. Pandangan Aksiologi Perennialisme
Perenialisme memandang masalah nilai berdasarkan azas-azas supernatural, yakni menerima universal yang abadi. Dengan azas seperti itu, tidak hanya ontologi dan epistemologi yang didasarkan atas prinsip teologi dan supernatural, melainkan juga aksiologi. Khususnya dalam tingkah laku manusia, maka manusia sebagai subyek telah memiliki potensi-potensi kebaikan sesuai dengan kodratnya, di samping itu adapula kecenderungan-kecenderungan dan dorongan-dorongan kearah yang tidak baik.
Masalah nilai itu merupakan hal yang utama dalam perenialisme, karena ia berdasarkan pada azas-azas supernatural yaitu menerima universal yang abadi, khususnya tingkah laku manusia. Jadi hakikat manusia itu yang pertama-tama adalah pada jiwanya. Oleh karena itulah hakekat manusia itu juga menentukan hakikat perbuatan-perbuatannya, dan persoalan nilai adalah persoalan spiritual. Dalam aksiologi, prinsip pikiran itu bertahan dan tetap berlaku. Secara etika, tindakan itu ialah yang bersesuaian dengan sifat rasional seorang manusia, karena manusia itu secara alamiah condong kepada kebaikan.
Jadi manusia sebagai subyek dalam bertingkah laku, telah memiliki potensi kebaikan sesuai dengan kodratnya, di samping adapula kecenderungan-kecenderunngan dan dorongan-dorongan kearah yang tidak baik. Tindakan yang baik adalah yang bersesuaian dengan sifat rasional (pikiran) manusia. Kodrat wujud manusia yang pertama-tama adalah tercermin dari jiwa dan pikirannya yang disebut dengan kekuataJl potensial yang membimbing tindakan manusia menuju pada Tuhan atau menjauhi Tuhan, dengan kata lain melakukan kebaikan atau kejahatan, Kebaikan tertinggi adalah mendekatkan diri pada Tuhan sesudah tingkatan ini baru kehidupan berpikir rasional.
Dalam bidang pendidikan perennialisme sangat dipengaruhi oleh tokoh-tokohnya, seperti Plato, Aristoteles dan Thomas Aquinas. Menurut Plato, manusia secara kodrat memiliki tiga potensi yaitu nafsu, kemauan dan pikiran, Pendidikan hendaknya berorientasi pada potensi itu dan kepada masyarakat, agar supaya kebutuhan yang ada pada setiap lapisan masyarakat bisa terpenuhi.
Menurut Robert Hutchkins bahwa manusia adalah animal rasionale, maka tujuan pendidikan adalah mengembangkan akal budi supaya anak didik dapat hidup penuh kebijaksanaan demi kebaikan hidup itu sendiri. Oleh karenanya tujuan pendidikan di sekolah perlu sejalan dengan pandangan dasar di atas, mempertinggi kemampuan anak untuk memiliki akal sehat. Dapatlah disimpulkan bahwa tujuan dari pada pendidikan yang hendak dicapai oleh para ahli tersebut di atas adalah untuk mewujudkan agar anak didik dapat hidup bahagia demi kebaikan hidupnya sendiri. Jadi dengan akalnya dikembangkan maka dapat mempertinggi kemam­puan akal pikirannya. Dari prinsip-prinsip pendidikan perenialisme tersebut maka perkembangannya telah mempengaruhi sistem pendidikan modern, seperti pembagian kurikulum untuk sekolah dasar, menengah, perguruan tinggi. (4)

BAB III
KESIMPULAN

Perenialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh. Perenialisme berasal dari kata perennial yang berarti abadi, kekal, atau selalu. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. perenialisme menentang pandangan progresifisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru.
Dalam pendidikan, kaum perenialis berpandangan bahwa dalam dunia yang tidak menentu dan penuh kekacauan serta membahayakan tidak ada satupun yang lebih bermanfaat dari pada kepastian tujuan pendidikan, serta kesetabilan dalam perilaku pendidik. Mohammad Noor Syam (1984) mengemukaan pandangan perenialis, bahwa pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya pada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh. Perenialisme memendang pendidikansebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan manusia sekarang dalam kebuyaan ideal.
Dalam bidang pendidikan perennialisme sangat dipengaruhi oleh tokoh-tokohnya, seperti Plato, Aristoteles dan Thomas Aquinas. Menurut Plato, manusia secara kodrat memiliki tiga potensi yaitu nafsu, kemauan dan pikiran, Pendidikan hendaknya berorientasi pada potensi itu dan kepada masyarakat, agar supaya kebutuhan yang ada pada setiap lapisan masyarakat bisa terpenuhi.

DAFTAR PUSTAKA

Dewey. J (1964). Democracy in Education. Newyork: The Mc Millan Company.
Henderson, Stella van Petten, 1959. Introduction to Philosophy of Education. Chicago: The University of Chicago Press.
Mudyahardjo, R., (2001). Filsafat Ilmu Pendidikan: Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Power, E. J. (1982). Philosophy of Education. NewJersey: Prentice Hall Inc.
Sadulloh, U. (2004). Pengantar Pilsafat Pendidikan. Bandung: Alpabeta.



(1) Dewey. JDemocracy in Education. Newyork: The Mc Millan Company. (1964).hlm. 25

(2) Henderson, Stella van Petten,. Introduction to Philosophy of Education. Chicago: The University of Chicago Press. (1959). Hlm. 14

(3) Mudyahardjo, R., Filsafat Ilmu Pendidikan: Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya. (2001)., hlm. 15

(4) Sadulloh, U. Pengantar Pilsafat Pendidikan. Bandung: Alpabeta. (2004)., hlm. 26