Thursday, November 28, 2013

Perlawanan Islam Terhadap Penjajahan Belanda


B.C. de Jonge, Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1931-1936), mengatakan: “Wij zijn hier al drie honderd jaren en wij zal nog meer dan drie honderd jaren hier blijven,” artinya “Kita sudah berada di sini tiga ratus tahun dan kita akan masih tiga ratus tahun lagi berada di sini.” Jelaslah bahwa penjajahan Belanda sudah berlangsung tiga abad lamanya adalah pernyataan politis. Dalam buku Indonesia’s History Between the Myths, Essays in Legal History Between the Myths, 1968, sarjana hukum Prof. Dr. G. J. Resink, dengan bukti-bukti hukum dan lain-lainnya yang mengesankan, delapan kajian tentang kekeliruan bahwa “salah satu mitos utama Sejarah Indonesia adalah mitos yang menyatakan selama tiga ratus lima puluh tahun kepulauan Nusantara dikuasai oleh Belanda.” Secara akurat beliau menentang mitos itu dengan memberikan gambaran kepulauan Nusantara terdiri atas beberapa negara merdeka atau setengah merdeka bahkan sampai dasawarsa pertama abad keduapuluh.
Dari kepulauan Nusantara, yang dihuni oleh satu bangsa, satu darah dan satu keturunan, satu budaya dan satu bahasa, jatuh ke dalam kekuasaan empat kerajaan asing, yaitu Portugis (Timor), Sepanyol (Filipina), Inggeris (Malaka, Brunai/Sarawak) , dan Belanda (Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusatenggara, Maluku, dan Irian Barat (Papua). Mereka tukar-menukar daerah seperti menukar barang dagangan seperti Nieuw Amsterdam (New York) oleh Belanda ditukar dengan Suriname dan Pulau Run milik Inggeris di kepulauan Banda. Pada tahun 1824 diadakan perjanjian antara Inggeris dan Belanda. Inggeris menyerahkan haknya atas Bengkulu (yang mereka namakan Bencoolen) dan Belitung (yang mereka namakan Billiton) kepada Belanda. Sultan Riau menyerahkan Singapura kepada Inggeris, yang semula dikuasai oleh Belanda, dan pada gilirannya oleh Belanda ditukar dengan Bengkulu.
Demikianlah Indonesia, pada awal abad keduapuluh ditaklukkan dan dibagi-bagi oleh bangsa-bangsa Barat. Kendatipun begitu, bukan berarti bahwa Indonesia telah jatuh ke tangan penjajah seakan-akan sangat mudah. Sejarah Indonesia pada zaman atau pada masa-masa kegelapan penjajahan, adalah pula berabad-abad perang kemerdekaan untuk melawan penjajahan yang berkecamuk di seluruh pelosok serta penjuru Tanah Air kita yang tercinta, silih berganti.
Hampir seluruh pemberontakan terhadap penguasa Belanda di Nusantara ini terus menerus digerakkan oleh semangat Islam yang tidak pernah tinggal diam melihat penindasan dan kemunkaran lainnya.
Antara lain kita mengenal peristiwa Batavia dikepungan digempur oleh Sultan Agung (1613-1645), Perang Makassar (1633-1669), Perang Trunojoyo dan Karaeng Dalesong (1675-1680), Perang Palembang (1818-1821), Perang Paderi (1821-1832), Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Banjar (1854-1864), Perang Aceh (1875-1903), serta banyak lagi perlawanan dan pemberontakkan kecil yang tidak disebutkan sejarah. Dalam bermacam peperangan ini telah tertawan dan gugur sebagai pahlawan bangsa serta syuhada karena jihad fi sabilillah, tokoh-tokoh seperti Sultan Hasa nuddin, Trunojoyo, Karaeng Galesong, Untung Suropati, Pangeran Antasari, Pangeran Hidayatullah, Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Nan Renceh, Panglima Polem, Pangeran Diponegoro, Teuku Cik Di Tiro, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, dan ribuan pengikut-pengikutnya yang tidak bisa disebut satu per satu.
Pemerintah kolonial Belanda yang memang menjajah Indonesia untuk tujuan menguras habis kekayaan Indonesia, demi kepentingan kemakmuran bangsanya, teramat sadar bahwa pola penindasan dan penghisapan terhadap pribumi Indonesia mendapatkan perlawanan sengit dari kalangan Islam, karena itu pemerintah kolonial Belanda menempatkan Islam sebagai musuh nomor satu. Tidak ada kekuatan yang paling ditakuti pemerintah kolonial Belanda di Indonesia ini kecuali kebangkitan Islam yang didukung oleh rakyat. Ahli-ahli orientalis Belanda sudah lama tahu bahwa kebangkitan Islam berarti bangkitnya kesadaran rakyat untuk membebaskan diri dari penindasan, ini berarti perlawanan terhadap penjajahan. Pemerintah kolonial Belanda dari pengalamannya sadar bahwa tidak bisa memisahkan antara militansi perlawanan rakyat pribumi dengan Islam. Islam dan rakyat Indonesia seperti ruh dengan badan. Islam dan rakyat Indonesia merupakan suatu hal yang tidak bisa dipisahkan.
Perang Paderi (1821-1832), Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Banjar (1854-1864), dan Perang Aceh (1875-1903), menyebabkan kas Hindia Belanda nyaris bangkrut.Ongkos imperialisme Belanda secara semena-mena diletakkan di atas pundak Jawa-Madura melalui Cultuurstelsel atau Sistem Tanam Paksa antara 1830-1870. Gubernur Jendral Van den Bosch mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan yang besar.
Setelah berbagai perlawanan rakyat (Umat Islam) dipadamkan, maka pada giliran berikutnya pemerintah kolonial Belanda berusaha memojokkan peranan Islam di bidang politik untuk mencegah perlawanan rakyat.

sumber: http://serbasejarah.wordpress.com/2009/03/30/perlawanan-gerakan-islam-terhadap-penjajahan-belanda/